Editor : Kaidir Maha
Mahasiswa : Fakultas Hukum Universitas Kanjuruhan Malang
Lanjutan dari Amerika Serikat dan Penggulingan Soekarno, 1965-1967 (1)
Jadi, dengan demikian apapapun motivasi
Gestapu (G 30 S) oleh personal-personal seperti Untung, Gestapu ini
ber”mata dua”. Baik pidato maupun gerakan-gerakan bukan merupakan
hal-hal yang janggal, justru merupakan tindakan yang terencana yang
dipersiapkan untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan ‘bermata dua” ini.
Sebagai contoh, keputusan Gestapu untuk menjaga semua sisi Istana
Merdeka Jakarta, kecuali Markas Kostrad (Soeharto) adalah konsisten
dengan keputusan personal Gestapu untuk menjadikan jenderal-jenderal
Angkatan Darat (AD) sebagai sasaran tunggal, yaitu para jenderal yang diperkirakan akan menentang usaha-usaha kudeta oleh Soeharto.
Ditambah lagi, pengumuman pengambilalihan
kekuasaan yang diumumkan oleh Gestapu atas nama “Dewan Revolusi” yang
penuh khayalan didesain untuk mengucilkan Soekarno, dan sebaliknya
Soeharto diberi peluang seolah-olah membela Soekarno, padahal pada
masa-masa selanjutnya, justru Soeharto menggulingkan Soekarno agar Bung
Karno tidak dapat memegang kembali roda pemerintahan. Yang lebih
penting adalah pembunuhan para Jenderal secara serampangan oleh Gestapu
di dekat pangkalan AURI, yang mana sebelumnya menjadi tempat latihan
bagi pemuda PKI, menjadikan alasan untuk melegalkan Soeharto manuvernya,
yang mengalihkan tanggungjawab pembunuhan itu dari pasukan-pasukan yang
di bawah komandonya sendiri (Soeharto tahu sendiri gerakan Untung, pasukan dibawahnya) yang telah menculik orang AURI dan PKI.
Dari laporan CIA tahun 1968, disebutkan
bahwa hanya sedikit pasukan yang terlibat dalam pemberontakan Gestapu
yang ‘terselubung’. Dan yang lebih penting bahwa baik di Jakarta maupun
Jawa Tengah, sebelum Gestau CIA menyebutkan bahwa terdapat
batalyon-batalyon yang dipersiapkan untuk melakukan pemberontakan.
Namun, pada faktanya, justru pasukan-pasukan inilah yang membunuh
ratusan ribu orang simpatisan dan yang terlibat dalam PKI.
Namun perlu dicatat bahwa 2/3 dari pasukan Paramiliter (yang telah diinspeksi langsung oleh Soeharto 1 hari sebelum G 30 S terjadi), ditambah 1 kompi pleton merupakan seluruh kekuatan Gestapu di ibukota Jakarta. Semua kesatuan itu (kecuali ada satu unit), semuanya dipimpin oleh para perwira atau mantan perwira dari Divisi Diponegoro, yang mana Soeharto sebelumnya menjadi Panglima Divisi Diponegoro...(!!!) Dan kesatuan yang memback-up dibawah langsung oleh Brigjend Basuki Rahmat, seorang loyalis Soeharto.
Namun perlu dicatat bahwa 2/3 dari pasukan Paramiliter (yang telah diinspeksi langsung oleh Soeharto 1 hari sebelum G 30 S terjadi), ditambah 1 kompi pleton merupakan seluruh kekuatan Gestapu di ibukota Jakarta. Semua kesatuan itu (kecuali ada satu unit), semuanya dipimpin oleh para perwira atau mantan perwira dari Divisi Diponegoro, yang mana Soeharto sebelumnya menjadi Panglima Divisi Diponegoro...(!!!) Dan kesatuan yang memback-up dibawah langsung oleh Brigjend Basuki Rahmat, seorang loyalis Soeharto.
Amerika Serikat dan Pasukan Khusus AD
Perlu diulas kembali (baca : bagian 1),
sejak tahun 1962, dua pasukan elit Raider yakni Batalyon 454 dan
Batalyon 530 merupakan salah satu pasukan utama Indonesia yang mendapat bantuan militer dari Amerika Serikat.
Pasukan-pasukan yang mendapat dukungan bantuan AS inilah yang menjadi
motor Gestapu sekaligus menjadi penumpas Gestapu. Dan dibawah komando
Soeharto, gerakan Gestapu yang diberitakan begitu ‘dahsyat’, ternyata dapat dikendalikan Soeharto dalam kurun waktu kurang 24 jam tanpa melepaskan tembakan di ibukota (tidak ada pertumbahan darah),
kecuali tembak-menembak yang terjadi antara Batalyon 454 (Baret Hijau)
dengan RPKAD (Baret Merah) di kawasan Halim – Jakarta Timur. (???!!!)
Dari fakta ini, kita dapat melihat adanya
keterlibatan Amerika dalam Gestapu dan penumpasan Gestapu sekaligus
menyebarkan ke media sebagai kejahatan ideologi komunis (ketika itu, Amerika dan Soviet sedang perang ideologi : liberalisme vs komunisme).
Fakta yang lebih jelas : sebagian besar pemimpin G 30 S adalah lulusan
pendidikan dari Amerika Serikat. Pemimpin G 30 S di Jawa Tengah, Suherman, baru saja pulang dari latihan Front Leaveworth AS dan Okinawa Jepang,
lalu bertemu dengan Letnan Kolonel Untung dan Mayor Sukirno serta
Batalyon 454 pada pertengahan Agustus 1965. Dan berdasarkan analisis
Ruth McVey, diterimanya Suherman untuk
mengikuti latihan militer di Fort Leavenworth berarti bahwa Suherman
telah lulus (welcome) dari para pejabat CIA.
Jadi, ada konektivitas antara usaha
Gestapu dengan penumpasan Gestapu oleh Soeharto, yang mana dengan dalih
menyelamatkan Presiden Soekarno, Soeharto sebenarnya meneruskan tugas
Gestapu menghabisi anggota-anggota SUAD (Staf Umum Angkatan Darat)
yang pro-Letnan Jenderal A Yani. Kemudian, langkah yang tak kalah
hebohnya adalah menyingkirkan sisa-sisa pendukung Bung Karno. Dari 6
perwira SUAD yang telah diangkat Letjend A Yani, tiga orang pertama
yakni Suprapto, DI Pandjaitan dan S Parman dibunuh pada G 30 S. Dari 3
orang yang ‘selamat’, 2 dari 3 orang lainnya yakni yakni Mursyid dan
Pranoto akhirnya disingkirkan oleh Soeharto 8 bulan pasca G 30 S. Dan
orang terakhir dari Staf Letjend A Yani yakni Jamin Ginting, digunakan
Soeharto selama menegakkan Orde Baru dan kemudian akhirnya diabaikan.
Bagian terbesar yang sesungguhnya dari
tugas-tugas konspirasi ini adalah melengapkan PKI dan
pendukung-pendukungnya, melalui pertumbahan darah yang memakan lebih
dari 1/2 juta jiwa, yang telah diakui oleh beberapa sekutu Soeharto.
Ketiga peristiwa ini – Gestapu, Penumpasan Gestapu oleh Soeharto serta
pertumbuhan darah — hampir selalu ditulis dalam sejarah dengan jalan
cerita masing-masing dengan motivasi sendiri-sendiri.
Meskipun beberapa jurnalis internasional
berusaha memberitakan kejadian pembantaian para simpatisan PKI apa
adanya, tulisan mereka yang di fax lalu diedit oleh kantor cabang di
Singapura sebelum dikirim ke Eropa dan Amerika. Dan pada kenyataan ini,
ada sejumlah pejabat, jurnalis dan peneliti Amerika yang berafilisiasi
dengan CIA, secara langsung maupun tidak langsung pada dasarnya
bertanggungjawab terhadap pertumbahan darah melalui propaganda sehingga
menimbulkan reaksi rakyat secara spontan. Dan dalam salah satu
kesempatan, Dube Amerika Serikat di Indonesia, Howard Jones mengakui
bahwa terjadi pembantaian PKI secara besar-besaran (carnage), dan
Amerika Serikat mengaminin hal tersebut.
Meskipun ada keterlibatan PKI dalam
krisis politik 1965, Crouch menunjukkan bahwa terjadi pemberitaan yang
berlebihan atas aktivitas PKI, disisi lain fakta pembantaian yang 1/2
juta orang tidak pernah diberitakan ke publik. Pembunuhan secara sistem
kepada ratusan ribu rakyat tanpa sistem pengadilan menciptakan trauma
psikologis bagi masyarakat yang mendukung atau menjadi loyalis Bung
Karno. Aksi-aksi pembantaian para petani, buruh yang pernah mendapat
bantuan dari organisasi PKI (yang tidak tahu-menahu kasus G 30 S)
menjadi korban pembantaian. [Download Video Dokumentasi : Shadow Play]
Sementara, aksi Kolonel Sarwo Edhie,
sebagai Komando RPKAD dari Jakarta menuju Jawa Tengah, Jawa Timur dan
akhirnya Bali sudah semestinya menjadi catatan tersendiri dalam
sejarah. Dalam pembantaian di Bali, seorang jurnalis yang dekat dengan
sumber resmi AD, mendapat pengakuan bahwa “AD-lah (RPKAD) yang telah mencetus
pembantaian”-ini. Gerakan ini sangat jelas ketika RPKAD tiba di Jatim,
maka menjadi titik awal pembantaian di provinsi tersebut. Orang-orang
sipil yang terlibat dalam pembunuhan massal ini dikerahkan dari
kelompok-kelompok setempat yang dilatih dan/atau diback-up oleh AD (sebagai contoh: SOKSI yang mendapat sponsor dari AD dan CIA, serta gerakan politik dari organisasi kemahasiswaan), yang mana selama bertahun-tahun telah bekerja sama dengan AD mengenai masalah-masalah politik.
Dari catatan Sundhaussen, sangat jelas
terjadi pembunuhan massal yang terorganisir du sebagian besar daerah
seperti Sumatera Utara, Aceh, Cirebo, seluruh Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Pengorganisasian ini dilakukan melalui komando AD setempat yang
sangat anti dengan PKI. Masih dalam laporan Sundhaussen, diketahui pula
bahwa banyak diantara komandan AD di daerah-daerah yang disebut di atas
sebelumnya selama bertahun-tahun telah bekerja sama dengan orang-orang
sipil, melalui apa yang dinamakan “Civic Action”
(Gerakan Rakyat) yang didanai oleh Amerika Serikat, yang ditujukan
untuk operasi kepada PKI dan beberapa diantaranya ditujukan ke
Soekarno. Dengan demikian, bisa dicurigai adanya suatu konspirasi
dengan melihat banyaknya kenyataan bahwa ‘respon sipil’ yang anti-PKI
telah dimulai pada 1 Oktober yang mana Angkatan Darat mulai
membagi-bagikan senjata kepada mahasiswa Islam dan anggota Serikat Buruh
Islam. [Informasi Dokumentasi Video dapat dilihat SINI], sebelum adanya pembuktian yang benar tentang tersangkutnya PKI dalam Gestapu.
Meskipun Sundhaussen berusaha menunjukkan
peranan AD sekecil mungkin dalam mempersenjatai dan menghasut kelompok
pembunuh rakyat secara massal, Sundhaussen menyimpullkan bahwa
bagaimanapun kuat rasa benci dan rasa takut terhadap PKI, namun tanpa
propaganda anti PKI oleh AD, maka pembunuhan massal terhadap
rakyat-rakyat yang tidak tahu menahu dengan G30S itu tidak akan terjadi.
Dan dalam tulisan ini selanjutnya akan
menelusuri pendapat bahwa rangkaian 3-peristiwa (Gestapu, respons
Soeharto, dan pembantaian) merupakan bagian dari konspirasi besar dalam
pengambilalih kekuasaan oleh militer, menjadi bagian awal dari skenario
AS dalam meruntuhkan pengaruh komunisme dunia dengan terjadinya kembali
Penggulingan Presiden Allende oleh Jenderal Pinnochet pada tahun
1970-1973 di Chile. (dan kasus yang mungkin terjadi juga di Kamboja 1970 ).
Dalam analisis ini, Soeharto menjadi tokoh penting dalam skenario ini : peran ganda (berwajah dua) Soeharto seolah berdiri sebagai penegak konstitusi dalam status quo, namun pada kenyataannya justru bergerak secara terencana untuk merebut kekuasaan Soekarno. Kondisi yang dapat dipersamakan dengan perebutan kekuasaan oleh Jenderal Pinochet yang menggulingkan sosok pemimpin populis Chile yakni Presiden Allende.
Namun, peran yang lebih langsung dalam mengatur pertumpahan darah telah
dimainkan oleh orang-orang sipil dan perwira yang dekat dengan
kader-kader pemberontakan CIA yang gagal pada tahun 1958 (pemberontakan
PRRI-Semesta), yang kemudian beralih dala program “Civic Action” yang
dibiayai dan dilatih oleh Amerika Serikat.
Selain dari data-data diatas, Peter Dale Scott juga membuktikan bahwa ada unsur-unsur negara lain (selain
Amerika Serikat) yang mendukung gerakan Soeharto. Beberapa negara yang
ikut dalam penumpasan PKI dan penggulingan Soekarno adalah Japan,
Inggris, Jerman, dan terakhir ada kemungkinan Australia. Pada tahun 1965, Badan
Intelijen Jerman membantu Badan Intelijen Militer Indonesia untuk
menumpas sayap kiri “Putsch” di Jakarta dengan mengirim senapan-senapan,
perlengkapan radio dan uang bernilai 300.00 Mark. (Heinz Hoehne and Hermann Zolling, The General Was a Spy [New York: Bantam, 1972], p. xxxiii).
Peter Dale Scott dalam hal ini hanya fokus pada pada pembantaian massal
dari angkatan darat yang mendapat dukungan dan dorongan dari Amerika
Serikat, CIA, militer, RAND, Ford Foundation, dan individu perseorangan.
Salam Perjuangan, 14 Agustus 2009
ech-wan @nusantaraku
ech-wan @nusantaraku
Bersambung………bagian 3
Sekilas Tentang Penulis dan Tulisannya
Peter Dale Scott
adalah seorang diplomat dan juga Profesor Sastra di Universitas
California Berkeley serta menjadi anggota Dewan Penasehat “Public
Informatioan Research”.. Ia seorang sastrawan sekaligus peneliti dalam
berbagai kasus sosial dunia yang dibukukan, seperti Perang Irak dengan
kaitan Minyak dan Bush-Cheney, Vietnam, kematian Presiden F Kennedy, dan
termasuk Konspirasi CIA dalam pengulingan Soekarno. Ia adalah seorang
aktivis yang menentang peperangan, dan salah satu pendiri dari Peace and Conflict Studies Program di UC Berkeley,dan Coalition on Political Assassinations (COPA).
Tulisan ini merupakan investigasi
mendalam dari berbagai sumber yang disusun bertahun-tahun dan pertama
kali di publikasikan pada Desember 1984. Berbagai sumber dapat Anda lihat versi aslinya di
Peter Dale Scott : The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967
Peter Dale Scott : The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967