. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
.
Imam Al Ghozali H.Wulakada Mengucapkan Selamat Menunaikan Ibadah Puasa 1434 H/2013
Home » » SUKU LEJAP : ETNIS BETAWI SESUNGGUHNYA

SUKU LEJAP : ETNIS BETAWI SESUNGGUHNYA

Written By Berita14 on Sabtu, 20 Juli 2013 | 03.46


19MEI
TAMBAHAN BUKUBAGIAN PERTAMA
WATUWAWER: DESA YANG TERBUANG
Watuwawer atau yang dulu dikenal dengan nama Atakore, hanyalah sebuah desa yang sangat terpencil seperti halnya desa-desa yang lain di Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Tidak tampak banyak yang diketahui dari Desa ini. Sejak lahirnya, tidak terlalu banyak hal yang berubah dari aspek pembangunan. Desa yang sangat terlupakan dari berbagai aspek pembangunan
desa Kalikur
.
Pembangunan sumberdaya yang bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat Watuwawer, boleh dikatakan hanyalah sebuah harapan tanpa ujung. Harapan yang sampai dengan saat ini masih tetap menjadi harapan. Harapan tanpa ujung, menanti sentuhan pembangunan dari pemerintahan sekarang ini. Sejak terbentuknya Desa Watuwawer (1917-1970-an) sampai Pemerintahan Koordinator Schap Lembata dibawah nakhoda putra Watuwawer Theodorus Touran Lajar, juga tidak banyak perubahan yang dilakukan. Ketika Pemerintahan Koordinator Schap Lembata ditingkatkan menjadi Pembantu Bupati Lembata(1980-2013), desa Watuwawer justru semakin terlupakan. Jarak penantian itu semakin jauh dari Watuwawer ketika Otonomi Daerah Lembata terbentuk tahun 1999 sampai dengan saat ini.
Pada halnya, pemerintah sebagai pelaksana pembangunan nasional di era reformasi ini, seharusnya mampu menggeser dan menjadikan kondisi manusia Watuwawer menjadi lebih bernilai. Saul M. Kazt (1987) dalam Lejap (2009), justru menegaskan hal ini. Bahwa pembangunan nasional sebagai perubahan social yang besar dari satu keadaan nasional ke keadaan nasional yang lain yang dipandang lebih bernilai. Berbagai aspek pebangunan seperti social, budaya, politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, air bersih, infratsruktur seperti menjadi binatang-binatang aneh yang tak tampak di Desa Watuwawer.
Bahwa masyarakat desa Watuwawer sekarang ini bisa memahami aspek-aspek pembangunan dimaksud, tetapi itu hanyalah sebuah akibat perubahan secara alamiah yang dialami oleh masyarakat disana. Tidak ada dorongan dari pemerintah secara strategis untuk mengangkat harkat dan martabat orang-orang di Desa Watuwawer, atau desa-desa sekitarnya, agar dapat mengaktualisasikan diri mereka dengan berbagai aspek pembangunan. Semua berjalan secara alamiah.
Desa Watuwawer dan penduduknya masih menjadi desa yang terbuang. Terbuang dari perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi modern, hal mana menjadikan mereka semakin jauh. Harus diakui bahwa satu-satunya hal yang sedikit positif dapat dirasakan oleh orang Watuwawer adalah perlakukan transportasi dari dan ke Watuwawer. Perlakukan ini juga tidak banyak membantu meningkatkan mobilisasi orang Watuwawer.
Kalaupun mereka mempunyai mimpi (dream) untuk bisa menikmati jalan aspal, memiliki Handphone, menikmati listrik, air bersih dan atau hal positif yang lainnya, menjadi wajar dan keharusan. Karena mereka juga adalah anak dari Ibu pertiwi bangsa Indonesia. Namun apa yang terjadi ?. Watuwawer tetap menjadi masyarakat sederhana, bukan masyarakat modern. Sportifitas dan semangat pembangunan masih menjadi harapan tak berujung. Kapankah tangisan mereka terjawab ?
1. Kondisi wilayah
Dari aspek ketertinggalannya itu, sebenarnya Watuwawer juga mmiliki asset yang tidak kalah pentingnya seperti kondisi wilayah, Ekonomi, Sumberdaya Manusia dan Sumberdaya Alam, Budaya, Pariwisata serta Komoditas yang selama ini sudah dimiliki oleh orang Watuwawer, dan bahkan masyarakat lembata umumnya. Namun semuanya itu hanya terpatri dalam impian, belum sepenuhnya dikelola untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.
Tidak ada dukungan insfrastruktur yang memadai agar pengelolaan sumberdaya ditorehkan untuk kemaslahatan Watuwawer. Pola pembangunan kita masih meraba-raba, mencari arah yang jelas. Sementara Watuwawer tetap menggeliat menanti sentuhan tangan-tangan emas untuk mewujudkan mimpinya itu.
Kondisi wilayah Watuwawer sebenarnya bisa dikembangkan untuk kepentingan Lembata, paling kurang untuk kemajuan Atadei sebagai Kecamatanan yang menaunginya. Inipun masih jauh dari harapan bagi mereka yang mendiami Watuwawer. Gas Alam/geothermal Karun sebagai aset Pariwisata tetap menjadi lahan yang tertidur lelap. Geothermal Karun hanyalah nama yang kini menjadi momok bagi mereka. Belum lagi berbagai komoditias yang sepertinya hanyalah menjadi komsumsi harian orang Watuwawer. Budaya yang tertidur lelap tanpa sentuhan dan polesan dari mereka yang memegang tampuk kekuasaan.
Kenyataan yang terjadi selama ini justru sebaliknya. Pemerintah sering kali melakukan manipulasi system sehingga orientasi pembangunan bukan lagi berpijak pada asas keadilan dan pemerataan. Orientasi pemerintah semata-mata lebih kepada elit yang berkuasa, oleh karena itu upaya yang harus ditempuh adalah memperkuat peran masyarakat sipil dan revitalisasi system pemerintahan agar lebih mengikutsertakan rakyat dalam proses pengambilan keputusan dan melaksanakan pembangunan.
2. Letak
Watuwawer adalah sebuah kampung yang tidak terkenal sama sekali. Lebih pantas disebut udik. Letaknya yang jauh, berjarak 40 km dari Ibukota Kabupaten Lembata Lewoleba., mengakibatkan kampung ini tidak dikenal oleh siapapun, kecuali mereka yang hidup di kampung. Memiliki wilayah yang cukup luas sampai berbatasan dengan Bobu, Desa Benalar dan Karangora di wilayah Timur, ke barat bertasan dengan Atawolo sedangkan ke utara berbatasan dengan Desa Baoraja, Benolo dan Waiwejak. Bagian selatan berbatasan dengan Desa Lerek, dan Desa Mirek Puke.
Jalur komunikasi yang strategis hanyalah jalan darat dengan kondisi yang sangat parah. Biaya perjalanan mencapai Rp. 30.000.-hingga Rp. 100.000.- dan ditempuh dengan menggunakan kendaran roda empat maupun roda dua, selama ± dua jam. Topografi kampung Watuwawer dikelilingi oleh bukit-bukit yang mengakibatkan desa ini terletak di lembah. Karena letaknya di kaki bukit, sehingga cuacanya sejuk. Letaknya ± 1000 m dari permukaan laut.
Desa ini sering mengalami kesulitan air bersih, walaupun masyarakat sudah berupaya dengan berbagai cara termasuk menggali sumur, namun tidak ditemukan air. Baru beberapa tahun terakhir pemerintah Kabupaten Lembata mengupayakan air besih melalui sumur bor, dan ternyata bisa membantu warga memperoleh air bersih hingga saat ini. Itupun masih terkendala.
Dari aspek monografi, terdapat Pemerintahan Desa, dua buah Sekolah Dasar yaitu SD Impres Watuwawer dan SDK Watuwawer, Terdapat pasar tradisional (barter) setiap hari selasa. Terdapat Gereja Katolik yaitu Gereja Katolik St. Nikolaus Konradus Watuwawer.
3. Membangun dari Desa
Kebanyakan orang selalu berpikir bahwa kemajuan sebuah Negara atau Propinsi atau Kabupaten/Kota dimulai dari Kota. Pikiran ini benar ketika kota mulai ditata untuk menunjukan wajah sebuah Negara atau ibukota Propinsi atau Kabupaten/Kota. Bangunan pencakar langit, rumah susun, swalayan, sarana transportasi yang modern, sarana komunikasi canggih, hotel berbintang, bahkan lapanngan pekerjaan disiapkan di kota. Hasilnya memang nyata bahwa kota menyajikan kehidupan yang gemerlap.
Namun satu hal yang harus diperhatikan adalah orang yang menikmati hasil pembangunan di kota jauh lebih sedikit dari mereka yang tidak menikmati. Akibatnya nampak kecendrungan orang untuk selalu berusaha mencari kehidupan di kota. Masyarakat desa berbondong-bondong menuju ke kota untuk mencari pekerjaan sekedar menyambung hidup, terlepas dari apapun resikonya.
Sementara masyarakat di desa nampaknya tidak menikmati apa-apa. Semua yang berada di kota tidak tersedia di desa. Jangankan bangunan bertingkat, warung bakso saja tidak ada. Masyarakat desa bahkan buta atas segala jenis pembangunan yang ada di kota. Masalah-masalah social menjadi makanan masyarakat desa sehari-hari. Kesehatan, pendidikan, sumberdaya manusia, lembaga keuangan, transportasi, air bersih, Harga komoditi yang rendah, sistem pemerintahan desa yang kerdil, telah melengkapi penderitaan kehidupan masyarakat desa.
3.1. Kesehatan
Kesehatan menjadi hak semua orang. Karena itu semua orang wajib menikmatinya. Bukan hanya masyarakat kota tetapi juga menjadi hak dari masyarakat desa. Namun kendalanya selama ini ketersediaan sarana pelayanan kesehatan ke desa-desa menjadi masalah. Obatan-obatan, rumah sakit yang memadai, Puskesmas yang lengkap, ketersediaan dokter (ahli dan umum) bagi masyarakat desa menjadi hal yang rumit. Semuanya hanya bisa tersedia di kota. Tenaga kesehatan dan obta-obatan justru menumpuk di kota, tapi orang-orang di kota juga masih mengeluh kekurangan tenaga dan obat-obatan. Sementara di desa kalaupun tersedia hanya bidan desa, atau perawat yang datangnya senin kamis untuk melayani kesehatan masyarakat. Belum lagi ketersediaan obat yang minim. Topografi wilayah menjadi alasan klasik.
Walaupun program pemerintah katanya selalu berorintasi pada masyarakat kecil (grass root) tetapi pelaksanaanya menjadi hambar. Jamkesda dan Jamkesmas tidak banyak menjawab semua kebutuhan kesehatan masyarakat terutama di desa-desa. Kelihatannya, hanya indah diprogramnya tetapi implementasinya masih perlu dipertanyakan. Maka tidak heran kalau kesehatan menjadi masalah pokok desa yang harus segera diatasi untuk menghindari ketimpangan social ini. Gagasan tanpa perbuatan adalah omong kosong.
Kesehatan masyarakat desa ibarat pungguk merindukan bulan, bahkan semakin jauh dari harapan. Mereka hidup dalam lingkaran persoalan kesehatan yang tak ada ujungnya. Selalu ada saja lingkaran persoalan kesehatan yang tak putus-putusnya merundung masyarakat desa. Usia Harapan Hidup masyarakat di desa-desa menjadi kurang. Salah satu akibatnya adalah kesehatan yang kurang memadai.
Pertanyaannya, siapakah yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kesehatan masyarakat ? Pemerintah. Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang dibangun pemerintah sampai ke desa-desa adalah program untuk menjawab tuntutan kesehatan masyarakat Desa. Tetapi harus tetap diakui bahwa Puskesmas belum efektif menjawab kebutuhan masyarakat desa dimana-mana. Banyak hal yang masih harus dibenahi terkait program pemerintah dalam hal peningkatan kesehatan masyarakat desa.
Kesehatan masyarakat masih menjadi hal yang menakutkan. Pengetahuan akan hidup sehat yang kurang menjadi persoalan tersendiri. Pengetahuan tentang hidup sehat jauh dari mata dan pandangan orang desa. Jika demikianlah soalnya, maka jangan heran kalau masyarakat desa tetap menjadi kurang bahkan tidak sehat. Itulah potret kelam masyarakat desa dalam hal kesehatan. Pembiaran terhadap pelayanan kesehatan yang kurang baik bagi masyarakat desa adalah pelanggaran hak asasi anusia.
3.2. Pendidikan
Undang-undang nomor 20/2003 mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Masih dalam UU yang sama diatas, pasal 3 menyebutkan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (Sulistyo, Perdanakusuma, Leksono: 2010; hal.2).
Pernyataan definisi dan Psl 3 UU nomor 20/2003 diatas indah adanya. Bahwa banyak orang telah memiliki pendidikan yang tinggi di Republik ini, adalah hal yang tidak bisa dipungkiri. Bahwa penataan pendidikan sedang ditata adalah benar adanya. Bahwa penataan kesejahteraan guru melalui tunjangan profesi sudah dilakukan. Bahwa hasil Ujian Nasional banyak sekolah yang lulus atau meluluskan anak didiknya 100% itu biasa.
Tetapi menjadi persoalan apakah mutu pendidikan itu meluas sampai ke desa-desa sesuai dengan beberapa pernyataan diatas ? Jawabannya beragam. Hasil pendidikan UN banyak yang 100% benar adanya, tetapi apakah kualitas itu merata pada semua anak didik ?. Di desa-desa hal ini masih menjadi pertanyaan yang mesti dicari solusinya. Buku pegangan guru yang kurang, kualitas dan profesionalitas guru yang apa adanya, sarana dan prasarana yang kuang memadai telah ikut mempengaruhi menurunnya kualitas pendidikan. Maka kualitas pendidikan kita patut dipertanyakan. Siapa yang harus disalahkan ?
Pendidikan yang rendah bagi kebanyakan masyarakat desa adalah persoalan umum yang dialami masyarakat desa. Di Desa hanya ada pendidikan jenjang Sekolah Dasar. SMP dan SMA/K menjadi barang langkah. Anak-anak desa harus mencari sekolah lanjutan yang jauh, dengan ongkos yang mahal. Biaya pendidikan yang mahal menyebabkan banyak masyarakat desa tidak mampu menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang perguruan tinggi. Jelas bahwa sekolah menjadi sulit bagi kebanyakan masyarakat desa, yang pada akhirnya tingkat drop out yang tinggi ada di desa-desa. Kebodohan masyarakat desa menjadi momok bagi kemiskinan.
3.3. Sumberdaya Manusia
Sumberdaya manusia selalu menjadi kendala yang sampai dengan saat ini tidak pernah teratasi dengan baik. Mayarakat desa selalu menjadi ladang yang sangat terlupakan dari aspek pengelolaan sumberdaya manusia. Perencanaan sumberdaya manusia untuk masyrakat desa selalu diabaikan. Perencanaa sumberdaya manusia selalu menghiasi penduduk kota. Guru yang bermutu, sarjana dan lain sebagainya selalu hadir di kota.
Bukan berarti tidak ada perhatian dari pemerintah terhadap sumberdaya manusia di desa. Program Sarjana Masuk Desa adalah hal yang positif bagi masyarakat desa. Tetapi apalah artinya satu rang sarjana di desa untuk boleh mengubah pola pikir dan mempengaruhi ratusan masyarakat desa, agar boleh berupaya untuk meningkatkan sumberdaya manusia di desa ?.
Orang yang dianggap pintar di desa adalah mereka yang bertopeng elit. Pemerintah desa dan guru adalah mereka yang dianggap orang pintar, walaupun sekolahnya apa adanya. Syukur-syukur diantara mereka ada yang sarjana. Kebanyakan mereka adalah tamatan SMP sampai SMA/sederajat. Itu artinya walaupun kelompok elit ini didengar omongannya, tetapi belum tentu diikutinya dengan baik.
3.4. Lembaga Keuangan
Berbagai lembaga keuangan seperti perbankan atau koperasi selalu ada di kota. Di desa hampir tidak ada. Kalaupun ada cuma koperasi dimana orientasinya kepada masyarakat yang punya duit. Sedangkan masyarakat biasa hanya menjadi obyek. Diberi pinjaman apa adanya selebihnya dikejar-kejar untuk membayar pinjamannya yang mencekik leher.
Bahwa Koperasi menjadi Soko Guru Perekonomian Rakyat sesuai dengan UU Perkoperasian itu benar. Tapi jangan lupa. Kehadiran Koperasi atau lembaga keuangan lainnya seperti perbankan, juga dapat melegalkan kemiskinan itu sendiri. Masyarakat diberi pinjaman yang banyak dalam jangka waktu tertentu, lalu ketika jatuh tempoh nasabah dan pihak peminjam modal kejar-kerjaran. Akhirnya masayarakat disalahkan, karena tidak membayar modal dan bunga pinjaman. Sebagai gantinya tanah atau apa saja yang ada pada mereka terpaksa diserahkan untuk melunasi pinjamannya. Masyarakat semakin miskin.
Aturan pinjaman yang berbelit-belit menyebabkan masyarakat desa tidak mempunyai kemampuan untuk memperoleh pinjaman dari lembaga perbankan atau koperasi. Peredaran keuangan sangat tidak rasional. Masyarakat desa hanya menjadi obyek dari lembaga keuangan untuk mengeruk keuntungan dari masyarakat desa.
3.5. Transportasi
Transportasi dari dan ke desa-desa masih menjadi mimpi yang buruk. Mobilisasi masyarakat desa ke kota atau sebaliknya tetap saja bermasalah. Sampai dengan saat ini semuanya masih sebatas pengharapam sambil menanti janji dari pemerintah. Kita tidak tahu kapan persoalan transportasi dari dan ke desa-desa bisa diatasi. Belum terlihat upaya serius dari pemerintah untuk mengatasi persoalan tramsportasi dari dan ke desa-desa. Kita juga harus akui bahwa sampai dengan saat ini transportasi masih menyimpan segudang persoalan.
Pada halnya salah satu kantong ekonomi Lembata juga adalah Atadei. Begitu banyak hasil komoditi yang justru dihasilkan dari Atadei termasuk Watuwawer. Namun demikian transportasi darat masih sulit, sama halnya juga transportasi laut. Jalan Trans Atadei yang meliputi dua Kecamatan yaitu Kecamatan Nubatukan dan Kacamatan Atadei, justru kondisinya kini rusak parah.
Pengakuan Ketua BPD Katakeja, Rudolfus Basa mengatakan bahwa perbaikan jalan Trans Atadei seharusnya menjadi tanggung jawab dua Pemerintah Kecamatan. Bukan hanya pemerintah dan masyarakat Kecamatan Atadei saja, tetapi juga menjadi perhatian Pemerintah Kecamatan Nubatukan. (Pos Kupang, Selasa, 02 April 2013, Hal. 21). Kerusakan jalan Trans Atadei sebenarnya lagu lama yang sampai saat ini hanya menjadi tontonan bukan hanya masyarakat Atadei tetapi pemerintah kecamatan dan kabupaten.
3.6. Air Bersih
Air bersih menjadi kebutuhan setiap orang. Hak dasar masyarakat desa untuk memperoleh air bersih menitikan persoalan dramatis. Pelayanan pemerintah dalam menyediakan air bersih di desa-desa tak ada perubahan signifikan. Untuk memperoleh air bersih di desa-desa sekarang ini masih jauh dari harapan kita semua. Masyarakat desa selama ini minum air hujan, minum air kali, itu hal biasa. Keinginan mereka untuk mengkonsumsi air bersih cuma mimpi belaka. Yang ada cuma air hujan dan air kali yang yang mengitari keseharian mereka.
Memang meraka tidak minta air bersih. Tetapi karena kebutuhan air bersih menjadi hak dasar setiap orang, maka kepada mereka juga harus diberikan. Sebagai ayah yang baik pemerintah harus memperhatikan hal ini. Jangan sampai kita lupa mereka yang hidup di desa-desa.
3.7. Harga komoditi
Tidak ada desa yang tidak memiliki tanaman perdagangan. Sekecil apapun desa, desa itu tetap memiliki tanaman perdagangan. Persoalannya adalah bagaimana upaya yang dilakukan agar hasil bumi/komoditi itu memiliki nilai rupiah yang tidak terlalu rendah tetapi juga tidak terlalu mahal. Kemiri, kelapa, mente, kacang tanah, mangga, vanili, kakao, cengkeh, pisang dan lain sebagainya.
Sebenarnya kita mempunyai masalah dengan penetapan harga komoditi yang pantas. Dibutuhkan regulasi semacam Perda agar kestabilan harga komoditi tetap aman. Kenyataannya, selama ini penetapan harga komoditi selalu menjadi kewenangan penimbun. Mereka yang bermodal menentukan seenaknya harga komoditi, dengan berbagai politik dagangnya, agar pedagang atau penimbun mengeruk keuntungan yang besar, sementara petani yang menanam, memelihara bertahun-tahun, hanya mampu menjual dengan harga yang rendah bahkan tidak pantas.
Maka dengan demikian harus dibutuhkan aturan/regulasi agar petani dan pedagang sama-sama untung. Selama ini harga komoditi ditentulan oleh pedagang sementara petani cuma menerima apa adanya. Hasil petani dieksploitasi oleh pedagang. Pedagang membeli dengan harga murah tetapi menjualnya dengan harga yang mahal. Kita semua sudah tahu petani yang memliki komoditi tetapi kehidupan mereka tetap miskin.
3.8. Sistem Pemerintahan Desa
Sistem berarti : 1. Seperangkat (suatu gabungan, kombinasi atau kumpulan) unsur, elemen, komponen, bagian, hal, yang disebut sub system, 2. Saling kait mengkait (interelasi), saling mempengaruhi (interaksi), saling tergantung (interdependensi). 3. Merupakan satu totalitas, entitas, atau kesatuan yang bulat, utuh dan terpadu, 4. Keberadaannya memiliki fungsi atau tujuan tertentu. (Sedarmayanti : 2007; 31-32).
Pemerintahan Desa dengan fungsi dan tujuannya menyelenggarakan pemerintahan desa juga memiliki system. Sistem itu melekat dengan pola dan perilaku pemerintahan desa. Saling keterkaitan antara berbagai elemen pemerintahan Desa, menjadi satu kesatuan yang tak bisa terpisahkan. Kepala Desa, para Kaur (Kepala Urusan), Rukun Wilayah (RW) dan Rukun Tetangga (RT) serta perangkat desa lainnya menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Sub system harus mendukung system, tidak boleh melenceng, maka sub system bersama-sama melakukan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan. Sub Sistem tidak boleh berjalan diluar system. Kalaupun ada yang berjalan diluar system, maka hal yang pasti terjadi adalah guncangan terhadap system. Maka system tidak boleh pincang.
Fungsi dan tujuan pemerintah desa adalah mengatur dan menata kesejahteraan masyarakat desa. Pemerintahan desa harus dilaksankan secra interelasi, interaksi dan interdepedensi. Dipahami juga bahwa bukan hanya Pemeritah desa saja yang berhak menjalankan pemerintahan tetapi ada unsure lain yang terlibat antara lain stakeholder utama yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsi masing-masing yaitu Negara atau pemerintah, privat sector (sektor swasta atau dunia usaha) dan society (masyarakat). ( Sedarmayanti : 2007; 5)
Pemerintah desa sebagai unsure pemerintah harus mampu menjalin kerjasama dengan pihak swasta (privat sector) serta masyarakat (society) untuk bahu membahu melaksanakan program-program pembangunan desa. Hal yang menarik untuk dilihat adalah Pemerintahan desa berjalan sendiri dan tidak mau melibatkan swasta dan masyarakat. Masyarakat dan swasta dianggap menjadi penghalang. Pada hal ini syarat menciptakan Kepemrintahan yang baik (good Governance).
4. Lokomotif Pembangunan
Lokomotif dari bahasa Belanda artinya kepala Kereta Api yang bermesin dan yang menarik gerbong-gerbong Kereta Api itu. (Badudu, Zain :1996; 823). Kereta Api memiliki Lokomotif dan gerbong. Supaya gerbong bisa berjalan, maka harus ditarik oleh lokomotif. Berapapun jumlah gerbong Kepala Kereta Api/lokomotif bisa menariknya. Lokomotif dan gerbong berjalan diatas rel. Tanpa rel Kereta Api tidak bisa jalan.
Desa diibaratkan sebagai lokomotif pembangunan. Menata pembangunan dari desa adalah sebuah hal yang positif. Memang pikiran ini pasti dianggap konyol karena masih danggap sulit untuk diwujudkan. Umumnya Pemerintahan manapun selalu membangun dari kota. Dibandingkan dengan kota biaya membangunan dari desa sangat mahal. Tetapi konsep ini semestinya bisa dilaksanakan untuk membangun dan menata dari desa.
Pemerintah propinsi Nusa Tenggara Timur telah memulai dengan upaya-upaya untuk membangun dari desa. Drs. Frans Lebu Raya sebagai Gubernur Propinsi Nusa Tenggara Timur, justru melahirkan program membangun dari desa yaitu Desa Mandiri Anggur Merah (DeMAM), disampiang program-program yang lain seperti, Propinsi Jagung, Propinsi Sapi, Propinsi Koperasi dan Propinsi Cendana. Setiap desa mengelola uang Rp. 250.000.000.- per tahun. Kita sebenarnya butuh program-program sederhana seperti ini tapi nyata dan bisa dicapai.
Namun harus diakui bahwa berbagai program pemerintah ketika era Otonomi Daerah berjalan, masih tetap dalam pola lama yaitu membangun dari kota. Jalan raya, jembatan, dan bahkan insfrastruktur lainnya dibangun dari kota. Desa tetap menjadi yang terlupakan. Kapan jalan raya sampai ke desa-desa ? Pemerintah lagi tidur nyennyak.
Membangun dari desa seharusnya dilakukan dengan menata system pemerintahan desa, pendidikan, kesehatan, sumberdaya manusia, air bersih, penatan harga komoditi, dan menata pemerintahan desa sebagai sebuah system yang baik, memang perlu dilakukan mulai dari desa. Karena jika pembangunan dimulai dari desa maka Kecamatan dan Kabuaten akan maju dengan sendirinya. Desa menjadi Lokomotif untuk menarik gerbong Kecamatan dan Kabupaten.
BAGIAN KEDUA
WATUWAWER : KAMPUNG TUA
Jauh sebelumnya, Watuwawer sebenarnya terbentuk menjadi kampungg tua. Kampung yang sangat tradisional. Hal ini dapat dibuktikan dengan hadirnya berbagai rumah adat dari beberapa suku yang menetap di Watuwawer, dengan bebagai kekayaan suku dan budaya yang hingga kini masih dipelihara dengan baik. Walaupun rumah adat sekarang cuma tinggal satu, tetapi budayanya seperti kolewalan, dan Ahar yang masih tetap orisinil dipelihara dengan sangat baik. Semuanya ini bisa dikembalikan kepada masa awalnya menjadi nuansa kampung tua. Caranya ialah dengan mengembalikan fisik semua rumah adat seperti sedia kala.
Suku Ledjap adalah salah satu suku yang menetap di Desa Watuwawer bersama beberapa suku yang lain. Suku-suku itu antara lain suku Wawin, suku Ladjar, suku Tukan, suku Huar, dan suku Koban, Lejap Ruin dan Ledjap Nujan serta suku-suku di Lewogroma yaitu, suku Kedang , Gromang (Roma), Lajar, Banin, Mebung, Within dan dua suku di Lewokoba yaitu Karang dan Wukak. Suku-suku ini hidup berdampingan dengan rukun sahaja sejak kedatangan mereka ratusan tahun silam dan menetap di Desa Watuwawer. Namun rumah adat mereka sudah punah. Mestinya harus bisa dibangun kembali. Suku-suku ini juga memiliki budaya Kolewalan, Ahar dan Holobeba sebagai budaya mereka.
Uniknya ialah bahwa suku-suku yang ada di Watuwawer, Lewokoba dan Lewogroma juga terdapat di desa lain. Hanya mereka tidak memiliki Kolewalan, Ahar dan Holobeba sebagai budaya Watuwawer. Misalnya Lajar di Waiwejak, Lerek, Koban di Lerek, Witin, Kedang dan yang lain di desa lain. Kecuali suku Lejap di luar Watuwawer, harus kembali untuk Tule Ahar sebagai panggilan lewotanah.
Hampir semua suku dalam etnis Lamaholot pasti memiliki keunikan sejarah dan rumah yang tentu tidak sama. Hal ini dapat dilihat dari sejarah perjalanan, asal-usul dan kekayaan suku yang berbeda dengan suku yang lain, dan juga bentuk bangunan rumah adat. Banyak suku di Lembata juga memiliki jalan ceritera tentang asal-usulnya secara unik.
Seperti halnya suku Ledjap, memiliki ceritera perjalanan sejarah, asal usul suku, kekayaan dan Rumah Adat yang sangat unik. Dari generasi ke generasi suku Ledjap tetap konsisten mewariskan ceritera secara oral, tetang sejarah perjalanan rumah adat dan sejarah perjalanan suku. Perjalanannya dimulai dari Betawi/Batavia sampai di Surabaya (Wonokromo) Ende, lalu ke Krokowolo/Tuak Wutu Awololo, Nama Wekak dan akhirnya memilih menetap di Watuwawer sampai dengan hari ini. Hal ini teruji melalui perjalanan suku ini. Sejarahnya diceriterakan dari generasi ke generasi secara teratur dan amat rapih. Silsilah, kekayaan dan budaya yang menjadi ciri khas suku Lejap menjadikannya unik diantara suku-suku yang lain.
Suku Ledjap menjadi suku yang paling besar di Desa Watuwawer karena dari segi jumlah pemeluknya lebih banyak jika dibandingkan dengan suku yang lain. Ledjap mendiami 2/3 dari Kampung Watuwawer. Suku Ledjap (Lera Lama Dike) terdiri dari Dua suku Besar yaitu Ledjap Nujan (bungsu/adik) dan Ledjap Bruin/Ruin/Sulung. Suku terbesar kedua adalah suku Wawin yang menjadi suku yang pertama datang dan menetap di Desa Watuwawer. Setelah itu baru diikuti oleh suku-suku yang lain seperti Huar, Koban, Tukan dan Ladjar, Kedang dan Karang.
1. Budaya
Watuwawer menyimpan sejuta pesona budaya. Pesona budaya yang mengeliat itu masih perawan dan tidak tersentuh oleh siapapun. Mereka yang menghuni desa Watuwawer pun masih belum berpikir tentang pesona budaya Watuwawer itu. Dari generasi ke generasi tidak seorangpun berpikir tentang bagaimana mengupayakan agar pesona budaya Watuwawer bisa mengeliat di seantero jagat. Pesona itu adalah pesona budaya dan pesona Pariwisata.
1.1. Pesona Budaya
Pesona budaya terpatri dalam syair, lagu dan tari. Syair, lagu dan tari adalah bentuk budaya yang menggunakan bahasa/sastra daerah untuk mengungkapkan pengalaman, perasaan, dan keinginan serta membangun hubungan dengan leluhur. Syair biasanya digunakan dalam bentuk seremoni. Syair menjadi sarana untuk membangun komunikasi ritual. Pesona Syair digunakan untuk membangun hubungan dengan sesama dan leluhur ataupun Lera Wulan Tanah Ekan (Tuhan dalam tradisi Lamaholot).
Syair dipakai untuk dua hal. Yang pertama untuk membangun komunikasi dengan leluhur dan Lera Wulann Tana Ekan yang kedua, untuk menjalin persahabatan dengan sesama. Membangun komunikasi dengan dilakukan dengan cara seremoni adat dalam berbagai ritual dan ritus. Moment ini dipakai oleh pemimpin rumah adat atau orang yang dipercaya untuk membawakan syair dalam mebangun komunikasi dengan leluhur. Seremoni dilakukan antara lain di rumah adat (depan pintu rumah adat), di lokasi pembangunan rumah, kebun dan lain-lain, selalu dilakukan dengan menggunakan syair.
Sementara tari dan lagu terpatri dalam bentuk urisele/tule hele, Hama, Gape (merapati kematian/giar gape), Pantun. Wujud Lagu dan Tari dalam bentuk kolewalan, Hama dan holobeba. Di dalam lagu dan tari juga digunakan syair untuk membangun komunikasi bersama sesama atau juga dengan leluhur. Biasanya syair tergambar jelas dalam lagu, syair maupun tarian.
Moment Uri Sele/Tule Hele adalah sarana untuk saling membagi informasi untuk mentakan sesuatu termasuk memperkuat suatu keadaan yang terjadi pada suatu waktu tertentu, baik waktu lampau atau sedang dan yang akan datang. Kolewalan, Hama dan Holobeba mempunyai keterkaitan, baik syair maupun tari.
1.2. Pariwisata
Watuwawer juga memilki pesona wisata. Pesona Wisata tepatri dalam aneka budaya, situs rumah adat, Karun, wisata rohani, wisata gunung api dan wisata Gas Alam. Kesemuanya ini juga belum disentuh oleh berbagai pihak hingga saat ini. Hanya Gas Alam yang sedang dalam pengelolaanpun hingga saat ini masih belum jelas.
Pembangunan infrastruktur untuk menunjang pariwisata kini mengganjal segalanya. Jalan menuju Watuwawer dari Lewoleba hingga saat ini masih dalam kondisi rusak parah. Perhatian pemerintah ke arah ini belum jelas. Perencanaan pariwisata harus berada dalam suatu siklus yang tertata rapih, dimana semua aktivitas pariwisata direncanakan secara berurutan tetap, sehingga mengundang minat wisatawan untuk mengikuti kegiatan kepariwisataan. Selama ini perencanaan pariwisata kita tidak berkesinambungan antara suatau daerah dengan daerah yang lain, mengakibatkan turis tidak bisa menjadwalkan kepergiannya dengan teratur.
Kendala lain yang mengganjal akses pariwisata adalah lemahnya transportasi untuk mendukung akses ke daerah-daerah kantong pariwisata. Kendaraan khusus angkutan pariwisata tidak ada sama sekali, sementara turis membutuhkan kendaraan yang baik dan terjadwal tetap dari dan ke akses daerah pariwisata.
Rancang bangun pariwisata kita lemah. Hal ini ditandai dengan kurang seriusnya pemerintah untuk berani menetapkan kantong-kantong pariwisata di berbagai wilayah Lembata sebagai Daerah Tujuan Pariwisata. Walaupun demikian kita sebenarnya jangan berkecil hati, karena secara alamiah hal ini akan terjadi dengan sendirinya.
Disamping itu kurang adanya promosi pariwisata yang strategis dan sustainable/berkelanjutan . Promosi menjadi hal yang sangat penting karena hanya dengan promosi pariwisata yang konsisten kita dapat menjual Lembata sebagai pulau yang memiliki pesona pari
wisata yang strategis. Kita harus akui bahwa perilaku birokrasi Wirausaha dari Pemerintah Kabupaten Lembata hanya sebatas mendirikan Purin Lewo yang mati tak mau hidup juga susah. Mestinya Purin Lewo juga diberi keleluasaan untuk mendesain perencanaan dan pengelolaan asset Pariwisata di Lembata.
1.3. Ekonomi
Perekonomian wilayah ini didukung oleh hasil komoditi pertanian seperti Kelapa, kemiri, kacang tanah, mente, padi, jagung serta ternak hewan seperti ayam, babi, kambing. Hasil penjualan komoditi dipakai untuk membiayai anak sekolah, membangun rumah atau kegiatan lainnya. Komoditi ini dijual ke Lebala dan Lewoleba.
1.4 Sumberdaya manusia
Watuwawer memiliki sumberdaya manusia yang cukup baik. Beberapa tahun terakhir Watuwawer bisa menjadi penyumbang Sumberdaya manusia dalam bidang pemerintahan Kabupaten Lembata walaupun belum maksimal. Beberapa putra daerah watuwawer berhasil di luar Watuwawer. Ada yang menjadi PNS (Pegawai negeri Sipil), TNI/POLRI, Biawaran, Biarawati, dan Pengusaha. Khusus di bidang pemerintahan putra putri Watuwawer belum banyak yang berkecimpung didalamnya. Namun hal yang pasti adalah putra dan putri Watuwawer sedang mempersiapkan diri di bidang pendidikan dengan mengambil berbagai jurusan di Perguruan Tinggi, yang nantinya pada satu saat mereka juga bisa berkiprah di dunia pemerintahan.
1.5. Sumberdaya alam
Watuwawer memiliki sumberdaya alam yang cukup potensial sebagai penyumbang PAD (Pendapatan Asli Daerah) bagi Kabupaten Lembata. Hanya saja bahwa pemgelolaannya tidak terlalu signifikan dan profesional sehingga komoditi sumber daya alam yang ada dianggap tidak strategis. Jika asset sumberdaya alam ini dikelola secara professional maka pasti akan menhghasilkan PAD yang signifikan. Beberapa aset sumberdaya alam yang tersedia di Watuwawwr antara lain sebagai berikut :
1.6. Geothermal/Karun
Di Watuwawer terdapat tambang Geothermal. Orang atiwawer menyebutnya Karun. Menurut orang di Watuwawer dan bahkan seluruh masyarakat di Lembata ikut menyebutnya Karun. Dan nama ini sangat terkenal. Pada halnya sebenarnya itu adalah Geothermal/ GasBumi. Karun dikenal luas karena menjadi tempat memasak makanan dan daging.
Karun adalah sebuah tempat di mana terdapat begitu besar uap gas gunung berapi yang sudah ratusan tahun ada di Desa Watuwawer. Sampai dengan saat ini aset ini belum dijadikan aset pariwisata, karena tidak ada polesan untuk menjadikannya sebagai daerah pariwisata, baik oleh pemerintah Kabupaten maupun pemerintah Desa. Karun hanya dibiarkan sebagai lahan pariwisata tidur dan bahkan tidak semakin terurus, dan tidak terawat dengan baik. Karun kini hanya menjadi saksi bisu bagi masyarakat Watuwawer. Pemerintah lebih senang dengan pantai yang indah, dan Ikan Paus untuk dijadikan sebagai asset pariwisata.
Selama ini Karun hanya bisa menjadi tempat memasak makanan. Hanya dalam tempo satu jam, semua makanan sudah bisa menjadi santapan yang lezat. Makanannya sangat enak, tidak meninggalkan bau belerang, tahan lama dan rendah kolesterol, kalau dimakan tidak bosan. Hebatnya, makanan di Karun ini bisa dikirim untuk sanak keluarga di daerah yang jauh, seperti di Jakarta, Kalimantan bahkan bisa sampai ke Malaysia tanpa pengawet makanan. Sangat alamiah.
Harus diakui bahwa Karun sebenarnya menjadi salah satu ikon Lembata selain Ikan Paus. Tetapi pemerintah rupanya tidak tertarik atas aset pariwisata yang satu ini. Jika penjualan Karun dipadukan dengan penangkapan ikan paus secara tradisonal di Lamalera, maka akan menjadi lengkap dan sangat strategis.
Karun dibiarkan sebagai perawan yang tetap menggeliat menunggu polesan tangan-tangan trampil untuk mengubahnya menjadi ikon pariwista. Yang tidak nampak adalah perencanaan pariwisata yang belum strategis dan pengembangannyapun bersifat sangat sektoral tidak menggapai seluruh asset pariwisata di Kabupaten Lembata. Gunung berapi Adowajo dan Petrus Grippe di sebelah Selatan Lembata, ditambah dengan gunung Hobal di tengah laut (di Indonesia hanya lima buah termasuk Hobal) tidak dikelola sebagai asset Pariwisata. Patut disayangkan karena pembiaran asset pariwisata seperti ini adalah hal yang tidak wajar.
Pemikiran strategisnya adalah jika Karun yang dipakai untuk memasak makanan dipadukan dengan asset pariwisata budaya di selatan Lembata mulai dari Karangora sampai di Watuwawer dikelola dan dikemas menjadi sebuah traveling pariwisata, maka dengan sendirinya akan mendatangkan banyak turis International dan local ke Watuwawer. Suguhan syair lagu dan tari dikemas menjadi satu arena pertunjukan akan menjadi nilai jual yang tinggi.
Ketika mereka sampai di Karun sambil melihat keindahan Karun dan menikmati makanan yang di masak di Karun secara tradisional, mereka juga disuguhi tarian kolewalan lalu diantar dengan holobeba ke Lerek, Lerek terima dengan tarian Beku dan Diok, lalu mereka melihat gunung api Adowajo dan Petrus Grippe, mereka melingkar melalui Tanjung Atadei untuk melihat patung Atadei, ke Lebala untuk melihat peninggalan raja Goa yaitu Keris di rumahnya Raja Lebala dan akhirnya ke Lamalera untuk menyaksikan penangkapan ikan Paus secara tradisional. Dari situ mereka menimakmati Pasir Putih di Mingar sebelum kembali ke Lewoleba untuk menghadiri Sail Indonbesia.
1.7. Patung Pater Konradus Bekker, SVD
Baha Luga Wawin, adalah putra Watuwawer yang dipelihara oleh Pastor Konrardus Bekker, SVD. Ketika itu Baha di bawa oleh Bekker ke Larantuka dalam keadaan sakit untuk diobati, karena luka pada kakinya yang sudah menahun, dan tidak pernah sembuh. Ketika sembuh, Baha lalu mengikuti kursus pertukangan, dan dikemudian hari mendapat tugas mengerjakan gereja Katolik di Riang Kemie-Larantuka bersama Petrus Temai Lejap.
Setelah selesai mengerjakan gereja Katolik di Riangkemie-Larantuka, Baha lalu kembali ke Lewoleba dan bekerja Misi di Lewoleba bersama bruder Patricius, sementara Petrus Temai Lejap pulang kampung. Suatu ketika Baha kembali ke kampungnya di Watuwawer. Pada saat kembali ke kampung, Baha membawa serta satu buah Sersan, Sepatu satu pasang, Tali Belanda dan Kain Serbet satu lembar.
Merasa ada barang di misi yang hilang Bruder Patrisius lalu mengirim nota kepada Pater Bekker bahwa Baha telah mencuri satu buah Sersan, Sepatu satu pasang, Tali Belanda dan Kain Serbet satu lembar. Berdasarkan nota dari bruder Patrisius tersebut, Pater Bekker kemudian pergi ke rumah Baha di belakang Gereja, untuk mengambil barang-barang tersebut.
“Hotperdomes (Bld) Baha. Kau telah mencuri satu buah Sersan, Sepatu satu pasang, Tali Belanda dan Kain Serbet satu lembar .” kata Pater Bekker. Rupanya inilah yang memicu ketersinggungan Baha ketika itu. Selanjutnya Pater Bekker pulang menyiapkan diri untuk memberi sakramen pengakuan kepada umat Watuwawer yang sedang mempersiapkan diri, karena keesokan harinya tanggal 20 April 1956 akan diadakan komuni pertama bagi anak-anak di Watuwawer. Menjelang malam sekitar jam 19.00 Baha mengendap menuju rumah pastoran. Sesampai di rumah pastoran ternyata Pater Bekker sedang berdoa di dalam kamarnya. Baha mengetuk pintu sampai tiga kali, Bekker kemudian keluar dari kamarnya menuju pintu.
Baha sedang berdiri di Pintu, parangnya disandarkan di tembok, dan dengan sigapnya Baha mengambil parang yang dibawanya, kemudian diayunkan kearah Pater Bekker. Perkalahianpun terjadi dan tak dihindari. Pater Bekker sempat menangkis dengan tangan kanan, yang mengakibatkan ibu jari tangan kanannya putus. Perkelahian tetap terjadi. Namun karena Baha menggunakan parang, maka kemudian Ia mengayunkan parang kearah wajah Pater Bekker sebanyak dua kali dan akhirnya Bekker rebah di depan rumah pastoran.
Posisi mayat Bekker saat itu adalah kepalanya mengarah ke Barat dan kakinya berada didepan pintu Pastoran. Tangan kanan berada di dada sedangkan tangan kirinya terlentang di samping badannya. Bagian Ibu jari tangan kanan yang putus itu kemudian hilang. Sebulan kemudian orang tuanya di Belanda mengetahui bahwa Bekker telah dibunuh. Buktinya dengan kehadiran ibu jari Bekker yang putus ketika menangkis ayunan parang dari Baha saat itu ternyata hadir sebagai tanda di tengah keluarga Bekker di Belanda.
 Saki-saksi hidup
Ketika peristiwa pembunuhan itu terjadi ada beberapa saksi yang mengetahui peristiwa itu dari awal sampai selesai. Namun sampai dengan saat ini saksi-saksi tersebut tidak pernah menceriterakan kejadian yang dilihatnya. Sedangkan saksi yang lain hanya mengetahuinya setelah peristiwa itu terjadi. Saksi-saksi itu antara lain :
 Yohanes Kia Lejap
Yohanes Kia Lejap adalah Kepala Desa Watuwawer ketika terjadi pembunuhan. Ketika Baha telah membunuh Bekker, SVD, Ia kemudian pergi menyerahkan diri ke Kepala Desa. Baha kemudian diikat dan diamankan di rumah Kepala Desa.
Selama dalam pengawasan dan pengamanan Kepala Desa, Baha diperlakukan dengan baik. Baha dijaga sangat ketat. Namun tidak ada komunikasi antara Baha dengan orang lain kecuali hanya dilakukan dengan Kepala Desa dan Bernardus Boli Lejap, sahabat karibnya sejak kecil. Dalam pengawasan itu Baha tetap tenang, menunggu proses selanjutnya, Ia dibawa oleh Baha Mayeli (Raja Lebala) ke Larantuka untuk diadili sampai dipenjarakan.
 Ham Belada Lejap
Beliau adalah seorang petani dan tukang kayu. Sehari-hari Ham bersama temannya Petrus Temai Lejap, disamping sebagai petani mereka berdua adalah tukang bela kayu (tukang kasar). Mereka berada di Namawekak untuk menjalani profesi sebagai tukang Bela. Ham kemudian menetap sampai meninggal di Namawekak, dan keturunannya sampai saat ini berada di Namawekak.
Beliau adalah satu-satunya saksi mata di Tempat Kejadian Perkara (TKP) pada peristiwa pembunuhan itu terjadi. Beliau berada di Tempat Kejadian Perkara. Ketika Ia mau ke gereja untuk mengaku dari remang-remang sinar rembulan, Ia melihat sedang terjadi perkelahian antara Pater Bekker dan Baha Luga. Sampai Pater Bekker terjerembab di tanah Ham masih menyaksikannya. Setelah itu Ham lari, karena dia takut nanti dibunuh oleh Baha juga.
 Bernardus Boli Ledjap
Adalah orang yang pertama bertemu dengan Baha ketika Baha sudah berhasil membunuh Pater Bekker. Ketika itu Boli berjalan dari rumahnya menuju Pastoran utuk melihat kejadian pembunuhan disana. Waktu itu hari sudah malam, tapi bulan sudah terbit sehingga bisa menerangi jalan menuju ke Rumah pastoran. Dalam perjalanan Ia bertemu dengan Baha sedang menuju ke rumah Kepala Desa pada waktu itu, Yohanes Kia Lejap, sambil memegang parang dan memakai baju bola klub Albatros warna kuning dan penuh darah. Mereka dua berpapasan.
Boli menegurnya. “Tema”, boli memanggilnya. “O tema”, sahut Baha. Baha lalu menyerahkan parang ke Boli. “Peda nere tema, tuan ta go belo ke”. ( Parang ini teman, Pastor saya sudah bunuh), kata Baha. Lalu Boli menerima parang dari tangan Baha. Mereka dua menuju rumah Kepala Desa Yohanes Kia Bala lejap. Sesampai di rumah Kepala Desa mereka duduk di Wetak (pondok besar, sudah punah) sambil makan kue yang sudah dibuat untuk pesta komuni keesokan harinya tanggal 20 April 1956. Kebetulan anaknya Kepala desa yaitu alm Raja Baha Lejap (meninggal di Tanjung Selor-Kalimantan) juga akan menerima komuni pertama.
Baha kemudian diborgol dengan tali, kedua tangan dan kakinya diikat di dalam rumah Kepala Desa. Selama di dalam rumah Baha dikunjungi oleh Kera Pati dan Pol Bala. Keduanya sempat makan bersama Baha di rumah Kepala Desa. Keesokan harinya tanggal 20 April 1956 Baha lalu di bawa ke Labala oleh rombongan Raja Baha Mayeli – raja Labala. Banyak sekali orang yang datang dari berbagai kampug yaitu Lerek, Waiwejak, Atawolo, termasuk pasukan kerajaan dari Raja Baha Mayeli – Lebala, untuk membawa Baha ke Lebala selanjutnya menjalani pengadilan di Larantuka.
 Peristiwa kriminal
Pembunuhan Bekker merupakan sebuah peristiwa maha dahsyat. Berangkat dari sebuah perkara kecil yaitu hanya sebuah sersan, sepasang sepatu, seutas tali Belanda dan sehelai serbet, yang menurut banyak orang tidaklah sangat masuk akal. Kalaupun dinilai dengan uang, tidaklah seberapa harganya, apalagi bagi sebuah lembaga gereja yang begitu besar seperti Petukangan Misi Lewoleba. Namun bagi seorang Baha, hal semacam ini sangat memalukan. Baha dituduh sebagai pencuri atas barang-barang milik bruder Patrisius.
Mestinya pembunuhan ini tidak boleh terjadi kalau Baha menyadarinya kalau justru atas pertolongan dan bantuan Bekker, Baha bukan hanya bisa sembuh dari penyakitnya yang sudah menahun, tetapi mendidiknya dan kemudian bisa menjadi tukang kayu yang hebat pada waktu itu. Penyakit menahun yang selama ini dideritanya justru atas kemurahan Bekker, ia bisa disembuhkan. Bekker berpikir bahwa Baha adalah anak yang punya potensi sekalipun Ia penyakitan, dan kemudian dididik dan bisa menjadi tukang kayu. Hanya tabiat Baha inilah yang sekarang menjadi momok yang menakutkan.
Peristiwa pembunuhan ini harus dimaknai sebagai sebuah peristiwa maha dahsyat. Mengapa ? Membunuh seorang manusia yang adalah seorang pastor adalah hal yang keji, tidak beperikemanusiaan. Terjadi di sebuah Kampung kecil. Masyarakatnya masih sederhnana, polos, lugu dan tidak berpendidikan. Mereka hanya punya harga diri, tidak mempunyai emas atau berlian atau intan permata. Maka ketika harga diri anak manusia diinjak oleh siapapun, disanalah terjadi pemberontakan yang mengakibatkan hal apa saja bisa terjadi termasuk pembunuhan. Pembunuhan Bekker adalah salah satu bukti penolakan atas harga diri dan kemanusiaan.
Peristiwa ini terjadi bukan karena pertentangan etnis. Bukan karena pertentangan antara kulit putih dan kulit hitam atau sawomatang. Bukan itu, tetapi yang terjadi adalah pertentangan dan penolakan terhadap harga diri dan martabat kemanusiaan, ketika harga diri seseorang diinjak oleh orang lain, maka akan terjadi malapetaka apa saja termasuk pembunuhan. Memang tidak semudah itu. Tapi kasus ini adalah salah satu bukti bahwa harga diri seseorag tidak boleh diinjak begitu saja. Maka, pengakuan atas harga diri dan kemanusiaan menjadi penting.
 Peristiwa Iman
Ketika peristiwa pembunuhan itu terjadi bukann hanya orang tua Bekker dan semua orang di Belanda menyumpahi Baha yang adalah orang Watuwawer, namun seluh dunia ikut mengutuknya. Ketika itu muncul stigma terhadap orang Watuwawer bahwa orang Watuwawer adalah pembunuh. Orang dari Kampung lain seperti Lerek, Atawolo, Waiwejak, Bauraja dan bahkan orang Katolik seluruh Indonesia mencatat dan mengutuk peristiwa itu. Padahalnya pembunuhan terhadap Pastor bukan hanya terjadi di Watuwawer saja, tetapi di daerah lain juga, bahkan lebih keji dari pembunuhan itu sendiri.
Bukan Cuma itu, tetapi juga terjadi bahwa semua biarawan dan biawati ikut mengutuk semua orang Watuwawer. Hal mana terjadi bertahun-tahun orang Watuwawer tidak memiliki rohaniwan/wati yang boleh bertahan hidup membiara.
Namun sebuah peristiwa Iman telah terjadi. Ketika Mama Gelu masih gadis ( istrinya Teo Toran lajar-masih hidup) pergi melihat jazat almarhum Pater Bekker di depan Gereja, ia kemudian mengambil darah Bekker dan menggosokkan pada wajahnya dengan bersumpah sambil meratap,”Ketika saya menikah, anak saya yang pertama lak-laki akan saya persembahkan kepada Tuhan, untuk menggatikan Pater Bekker.” Sebuah sumpah yang polos dan tidak mengada-ada, lahir dari hati yang tulus dan keluar dari sebuah mulut seorang perawan yaitu Gelu.
Sumpah ini kemudian terjawab beberapa tahun kemudian. Ketika Ia menikah dengan Theodorus Toran Lajar (koordinator Scahp Lembata pertama) lahirlah anak laki-laki sulung Hendrikus Tobotani Lajar. Hen ini yang kemudian menjawab peristiwa Iman itu. Hen kemudian ditahbiskan menjadi Imam dan kini bertugas di Keuskupan Sintang sampai dengan saat. Sejak itu benih panggilan terus mengalir mengapai anak-anak di Watuwawer. Sampai dengan saat ini sudah sekian orang menjadi Iman, frater dan suster dan bekerja di hampir seluruh Indonesia, bahkan Luar Negeri seperti di Jerman.
 Tempat Ziarah Iman
Patung ini harus dijadikan tempat siarah bagi umat Katolik setempat. Hal ini bisa terjadi karena Bekker dianggap sebagai martir. Mati di bunuh dengan sangat keji, darahnya tetap di kubur di Watuwawer tempat Ia meninggal dan dari darahnya orang meyakininya sebagai kekuatan untuk menghasilkan banyak biarawan dan biarawati yang berasal dari Watuwawer. Doa dan kesuciannya diyakini akan menjawab keinginan banyak orang yang mendaraskan doa melalui almarhum Bekker.
Selama ini belum ada tempat ziarah bagi umat di Watuwawer dan sekitarnya. Memang bukan hal yang luar biasa. Tetapi dalam siatuasi seperti ini orang Watuwawer telah menjadikan kubur Bekker sebagai tempat ziarah, tempat doa dan tempat untuk mencurahkan segalah persoalan kehidupan rohani mereka. Mereka meyakini bahwa di kubur inilah orang suci yang telah melayani kehidupan rohani dibunuh. Maka dengan bedoa dikuburnya Pater Bekker, mereka memperolah berkat dariNya.
1.8. Tambang Geothermal/Gas Bumi
Perpindahan panas secara konduksi terjadi melalui batuan, sedangkan perpindahan panas secara konveksi terjadi karena adanya kontak antara air dengan suatu sumber panas. Perpindahan panas secara konveksi pada dasarnya terjadi karena gaya apung (bouyancy). Air karena gaya gravitasi selalu mempunyai kecenderungan untuk bergerak kebawah, akan tetapi apabila air tersebut kontak dengan suatu sumber panas maka akan terjadi perpindahan panas sehingga temperatur air menjadi lebih tinggi dan air menjadi lebih ringan.
Keadaan ini menyebabkan air yang lebih panas bergerak ke atas dan air yang lebih dingin bergerak turun ke bawah, sehingga terjadi sirkulasi air atau arus konveksi. Adanya suatu sistim hidrothermal di bawah permukaan sering kali ditunjukkan oleh adanya manifestasi panasbumi di permukaan (geothermal surface manifestation), seperti mata air panas, kubangan lumpur panas (mud pools), geyser dan manifestasi panasbumi lainnya, dimana beberapa diantaranya, yaitu mata air panas, kolam air panas sering dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk mandi, berendam, mencuci, masak dll. Manifestasi panas bumi di permukaan diperkirakan terjadi karena adanya perambatan panas dari bawah permukaan atau karena adanya rekahan-rekahan yang memungkinkan fluida panas bumi (uap dan air panas) mengalir ke permukaan.
Berdasarkan pada jenis fluida produksi dan jenis kandungan fluida utamanya, sistim hidrotermal dibedakan menjadi dua, yaitu sistim satu fasa atau sistim dua fasa. Sistim dua fasa dapat merupakan sistem dominasi air atau sistem dominasi uap. Sistim dominasi uap merupakan sistim yang sangat jarang dijumpai di mana reservoir panas buminya mempunyai kandungan fasa uap yang lebih dominan dibandingkan dengan fasa airnya. Rekahan umumnya terisi oleh uap dan pori‐pori batuan masih menyimpan air. Reservoir air panasnya umumnya terletak jauh di kedalaman di bawah reservoir dominasi uapnya. Sistim dominasi air merupakan sistim panas bumi yang umum terdapat di dunia dimana reservoirnya mempunyai kandungan air yang sangat dominan walaupun “boiling” sering terjadi pada bagian atas reservoir membentuk lapisan penudung uap yang mempunyai temperatur dan tekanan tinggi.
1.9. Belerang
Belerang adalah barang tambang yang berwarna kuning dan mudah terbakar, baunya seperti telur busuk, terdapat di daerah gunung berapi, juga biasa dipakai sebagai obat kudis.(KUBI: 1996; 150) Sebenarnya dari dulu kala belerang terdapat diaerah Tanah Putih/Enai Bujeken : sebuah lokasi di sebelah bawah arah Timur Lewokoba (salah satu bagian dari Desa Watuwawer). Lokasi ini tedapat banyak sekali belerang yang kalau ditambang bisa menghasilkan PAD bagi Desa Watuwawer. Hanya sayangnya baik pemerintah Desa maupun Pemerintah Kecamatan atau Kabupaten tidak tertarik sama sekali untuk menambang belerang di lokasi tersebut. Sampai sekarangpun belum ada sikap resmi dari Dinas Pertambangan Lembata untuk mencoba menggali potensi tambang belerang tersebut. Pemerintah masa bodoh dan tidak mau tau.
Kontrak politik masyarakat Lembata untuk menolak tambang di Lembata dan Flores telah menjadi hak paten agar Pemerintah Lembata dan Flores tidak boleh mengexplorasi tambang di wilayah Lembata dan Flores.
Watuwawer dalam perjalanannya tidak banyak mengalami perubahan dalam sentuhan pembangunan di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sampai dengan Negara ini berusia 67 tahun Watuwawer tidak banyak berubah. Perubahan secara fisik dalam bentuk infrastruktur harus diakui memang bahwa Watuwawer belum mengalaminya secara signifikan.
Sama halnya dengan desa-desa lain di Kabupaten Lembata, Watuwawer yang jauh dari Ibukota Kabupaten dan Ibukota Kecamatan Atadei sehingga perhatian pemerintah terhadap Watuwawer memang jauh dari harapan. Pada halnya Watuwawer juga menyimpan sejuta harapan dan masa depan Kabupaten Lembata. Di sana ada tambang Geothermal yang kalau sudah beroperasi akan menghasilkan banyak devisa untuk Kabupaten Lembata. Tapi apa yang terjadi. Jalan saja belum diperhatikan oleh Pemerintah Kabupaten Lembata. Bagaimana bisa ada eksploitasi hasil bumi tambang gas dan belerang bisa berjalan sewajarnya.
Memang di satu sisi kita pahami bahwa untuk membangun semua desa di Kabupaten Lembata belum dilakukan signifikan, karena begitu banyak desa yang ada disana yang belum tersentuh. Semua desa harus mendapat porsi yang sama. Disatu sisi Watuwawer itu sekarang menjadi Ikonnya Lembata dengan tambang Geothermal.
Bahwa di wilayah yang lain juga terdapat tambang yang bisa dieskploitasi, namun ditolak oleh masyarakat. Penolakan besar-besaran terhadap tambang di lembata merupakan gerakan moral yang berakhir pada sebuah kontrak politik antara Pemerintah Kabupaten Lembata dan masyarakat. Sehingga dengan demikian Pemerintah terkontaminasi dengan gerakan moral dimaksud, yang semuanya berujung pada penolakan tambang di seluruh Kabupaten lembata.
Yang efektif terjadi adalah perubahan pola pikir. Perubahan pola pikir ini terjadi dari konsumtif ke menabung. Menabung bagi masyarakat Watuwawer sendiri terjadi sejak beberapa tahun terakhir. Hal yang dilihat nyata adalah beberapa lembaga lembaga keuangan melakukan pelayanan di Watuwawer. Salah satu contohnya adalah Kopersi yang telah melakukan pelayanan dan malah bekantor di Watuwawer.
Hasil dari menabung adalah untuk biaya anak sekolah atau membangun rumah. Sudah banyak anak Watuwawer yang di sekolahkan oleh orang tuanya keluar NTT dan juga sudah banyak masyarakat yang bisa membangun rumah permannen dengan manabung di Koperasi atau Perbankan seperti BRI, BNI dan lain-lain. Hasil tabungan itu diperoleh dari menjual hasil komoditi local atau memilih pergi merantau ke luar Negeri seperti Malaysia atau daerah lain di Indonesia. Gaji yang diperoleh dikirim kembali kepada orang tuanya untuk ditabung dan setelah kembali mereka bisa mengunakan uang hasil tabungan itu untuk membangun rumah atau membiayai anak sekolah.
2. Adat Sebagai Identitas Diri
Adat menjadi identitas diri. Adat istiadat adalah sebuah hukum. Masyarakat Eropa mengakui adat sebagai kebiasaan yang telah menjadi hukum. Sementara Van Volenhoven memakai istilah “adat kebiasaan’, sepanjangg adat itu adalah adat tanpa makna hukum. Masyarakat meyakini adat istiadat sebagai identitas diri yang kuat. Sebelum agama masuk, masyarakat kita sudah memiliki adat istiadat sebagai identitas diri. Untuk menyatakan harga diri, martabat, moral dan etika, kekuasaan, kebesaran, pengaruh dan yang lainnya, orang tidak melihat dari aspek hukum, tetapi dilihat dari adat istiadat sebagai identitas diri yang kuat. Identitas diri yang kuat itu terletak pada adat istiadat.
Begitu kuatnya pengaruh adat istiadat sebagai identitas diri, maka segala hal yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan etnis Watuwawer, hampir seluruhnya dipengaruhi oleh adat istiadat. Karena itu etnis Watuwawer sangat kuat memegang adat istiadat sebagai patokan moral dan etika. Mulai dari pola hidup yang sangat sederhana sampai kepada soal yang rumit selalu dilandasi oleh adat istiadat.
Adat istiadat sebagai identitas diri berlaku mulai dari hal yang sederhana sampai kepada hal yang rumit. Hal sederhana berlaku dalam hubungan kekerabatan setiap hari, sedangkan adat istiadat berlaku dalam identitas diri yang khusus dan temporer misalnya dalam hal kawin mawin. Karena itu menjadi hal yang rumit jika adat istiadat ini ditiadakan atau tidak digunakan lagi dalam pola kehidupan masyarakatnya. Jika ini dihilangkan atau tidak dipakai saja dalam pola kehidupan etnis Watuwawer maka yakinlah bahwa kita akan kehilangan identitas diri kita.
Adat istiadat memiliki simbol-simbol yang dipakai sebagai lambang identitas diri. Hal ini tercermin dalam pola hidup sehari-hari. Adat harus menjadi dasar identitas diri kita. Simbol-simbol adat istiadat meliputi aspek fisik, emosi dan mental (Carmazi:2006;11). Simbol-simbol yang melekat pada aspek fisik dari adat istiadat adalah tanda atau lambang yang dikenakan, seperti sarung yang menggunakan motif-motif, warna dan ukuran. Simbol-simbol yang melekat pada aspek emosi, syair dan lagu misalnya meratap, urisele, dan berpantun atau syair dalam tarian kolewalan dan holobeba. Sedangkan symbol-simbol dalam aspek mental misalnya benda-benda adat seperti gading, sarung gelang gading, anting adat cincin dan bentuk benda adat lainnya selalu dipakai dalam urusan perkawinan.
3. Masyarakat sederhana
Masyarakat Watuwawer sebenarnya sama dengan masyarakat Lembata lainnya. Mereka tegolong masyarakat sederhana. Masyarakat yang sangat tertinggal dalam arus perkembangan Ilmu pengetahunan dan komunikasi global. Berbagai perubahan dunia tidak dikomsumsi seperti halnya orang di wilayah Indonesia yang lain.
Masyaralat sederhana dalam konsep modernisasi menurut teori evolusi Charles Darwin dalam bukunya The Descent of Man-Asal Usul manusia (1871) bahwa perubahan social berjalan secara perlahan dan bertahap. Perubahan ini dari masyarakat sederhana (primitive) ke masyarakat modern (kompleks) memerlukan waktu yang panjang, bahkan untuk sampai pada tahap terakhir bisa memakan waktu berabad-abad.
Masyarakat Watuwawer dari masa ke masa kurang mendapat perhatian dari Pemerintah atau lembaga swasta lainnya. Hal ini dibuktikan dengan kurangnya pembangunan infrastruktur dan suprastruktur di Watuwawer. Pembangunan jalan, jaringan akses informasi, fasilitas umum lainnya belum menjadi perhatian pemerintah. Jalan dalam kampung tidak tertata dengan baik dan rapi. Gedung yang berfungsi sebagai fasilitas umum ( gedung sekolah, gedung gereja, Kantor Desa) bahkan sudah tidak layak lagi.
Rumitnya lagi, belum ada tata ruang desa. Hal ini berkibat fatal bagi penataan ruang pembangunan Desa. Perencanaan pembangunan Desa hanya mengikuti alur dan gerak rencana pembangunan Kabupaten. Karena memang penataan sumberdaya manusia dan alam masih belum dilakukan dengan sinergis. Pemanfaatan sumberdaya masih sebatas wacana karena perencanaan sumberdaya belum dilakukan dengan baik. Sumberdaya belum dianggap strategis baik oleh pemerintah Kabupaten maupun pemerintah Desa.
BAGIAN KETIGA
SUKU LEJAP : ETNIS BETAWI SESUNGGUHNYA
Dalam penuturan dari keturunan generasi ketujuh suku Lejap, Bernardus Boli Lejap bahwa suku Ledjap memiliki ceritera riwayat perjalanan leluhur yang kemudian diketahui berasal dari Betawi/Batavia. Karena itu etnis ini adalah etnis Betawi sesungguhnya yang mengembara meninggalkan daerah asalnya Betawi dan kemudian menyinggahi beberapa wilayah di Indonesia Timur dan akhirnya menetap di Watuwawer.
Melalui pengembaraan para nenek moyang/leluhur yaitu Pen Tobe Laga Wujo,Pen Beto Ema Ingi dan Hire Kalang Lawe Laga mulai dari Betawi menuju ke Wonokromo (Jawa Timur), Ende, Krokopuken/Tuak Wutu Awololo, Namawekak dan akhirnya menetap di Watuwawer.
Ketika itu, di Krokopuken, sudah banyak suku yang menetap. Pada waktu air Laut masih terus menggenangi Krokopuken maka pengembaraan pun dilanjutkan. Semua suku menelusuri Lewoleba dan berhenti di Namawekak. Semalaman mereka semua bermain tandak sampai pagi. Lalu semua suku berpisah dan sepakat untuk mencari tempat menetap. Ada yang berangkat menuju timur, barat, utara dan selatan. Suku Lejap menuju wilayah selatan. Ketiga bersaudara ini yaitu Bala Gletewoloi, Bala Kob dan Bala Gilo, mulai melakukan petualangan sambil membawa tiga batang gading. Ketiga batang gading itu ialah Bala Gletewoloi, Bala Gilo dan Bala Kob, yang menjadi bukti sejarah dan tersimpan di rumah adat suku Lejap Nujan sampai dengan saat ini. Mereka akhirnya memilih menetap di Watuwawer hingga saat ini. Ketiga nama ini kemudian menjadi nama dari ketiga batang gading yang kini sebagai pusaka suku Lejap Nujan.
Lejap adalah suku terbesar di Watuwawer, Suku ini mendiami 2/3 wilayah Desa Watuwawer. Suku Lejap sebagai rumpun terbesar selain suku-suku di watuwawer. Suku ini juga bukan hanya ada di Watuwawer tapi menyebar di beberapa wilayah lain seperti di Lewoleba, Larantuka, Maumere, Ende, Labuan Bajo, Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Jakarta, Makasar, Palopo dan Surabaya khususnya di daerah Wonokromo. Ada juga yang menetap di luar negeri seperti Malaysia dan Negara Demokratic Timor Leste. Selain itu juga rumpun suku Lejap terbagi menjadi dua bagian besar yaitu rumpun suku Lejap Ruin (Luwa Bruin=sulung) dan rumpun suku Lejap Nujan (Luwa Nujan=Bungsu) . Khusus rumpun suku Lejap Nujan terdapat tiga suku yang terhimpun di dalamnya. Diantaranya Lejap Nujan sebagai yang terbesar, suku Lejap Lamatadak dan suku Lejap Atwutun.
Disamping itu rumpun suku Lejap memiliki variasi struktur adat yang sama, satu dan tak terpisahkan. Struktur dan konstruksi rumah adat, ritus adat, dan motif juga sama. Simbol, Syair dan Seremoni yang dipakai oleh suku Lejap Nujan dan suku Lejap Ruin tidak ada perbedaan, bahkan sama dengan rumpun suku yang lain yang ada di Watuwawer.
Namun demikian terdapat perbedaan antara suku Lejap Nujan dengan rumpun suku yang lain yaitu terletak pada kekayaan suku. Lejap Nujan sebagai salah satu suku terkaya di Watuwawer bahkan terkaya di wilayah kecamatan Atadei dan bahkan di Lembata. Kekayaan itu antara lain memiliki lima batang Gading dengan nama masing-masing yaitu Bala Gletewoloi, Bala Kob, Bala Gilo, Bala Latang dan Bala Mal Lolo, serta selembar Heut (sarung sutera) dengan panjang 7 meter dan sebuah lembar Sarung Adat.
Sama seperti suku lain di Watuwawer suku Lejap Nujan memiliki rumah adat dan tata upacara/ritus/ritual. Rumah Adat dan Tata upacara atau seremoni adat juga hampir sama dengan suku lain. Bedanya ialah suku lain tidak mempertahankan situs rumah adatnya. Yang mereka pertahankan adalah ritus.
1. Ina Puken (induk utama)
Suku Lejap lahir dari tiga induk (ina puken) yaitu Pen Tobe Laga Wujo, Pen Beto Ema Ingi dan Hire Kalang Lawe Laga. Ketiga induk ini keluar dari satu batang Pohon Lejap (sejenis pohon berduri, berbatang besar, berbunga merah serta berdaun lebar). Suku Lejap meyakini bahwa ketiga nenek moyang mereka keluar dari satu batang pohon Lejap. Dari ketiga induk itu kemudian lahirlah keturunan Suku Lejap. Karena itu mereka bergelar Lejap Bunga Mera ( Lejap Punga Meran). Warna merah melambangkan keberanian.
Dari Ketiga Ina Puken diatas Pen Tobe Laga Wujo melahirkan keturunan Lejap Nujan. Pen Tobe Laga Wujo melahirkan begitu banyak anak cucu Lejap Nujan hingga saat ini, dan tersebar di berbagai daerah di Indoesia seperti di Jawa, Sumatera, Sulewasi, Kalimantan, Flores, Timor, Negara Democartic Timor Leste, Malaysia dan lain-lani. Sementara Hire Kalang Lawe Laga tidak mempunyai keturunan.
Pen Beto Ema Ingi mlahirkan keturunan Lejap Bruin (sulung). Belum dilakukan penelusuran sejarah dan silsilah selanjutnya. Lejap Ruin juga adalah suku yang besar, memiliki struktur adat, rumah adat serta silsila dan ritus tersendiri, yang sama dengan suku Lejap Nujan.
Dikisahkan selanjutnya, dalam pengembaraanya sampai di Watuwawer, Bala Gletewoloi membawa kedua saudaranya yang masih kecil dan kemudian menyembunyikannya di hutan Bobu, yaitu Bala Kob dan Bala Gilo. Bala Gletewoloi melanjutkan pengemabaraannya mencari tempat tinggal. Ketika ia melintasi daerah Waiteba sampai di Kedang Geneke Ia melihat ke Lembah Watuwawer dan ternyata disana sudah ada asap api dan lolongan anjung serta ayam berkokok. Lau Ia menelusuri daerah itu sampai di Ongapapa.
Ketika Bala Gletewoloi melintasi daerah Ongapapa, Ia bertemu dengan Kia Wawin di Ongapapa. Kia Wawin lalu memanggil Bala Gletewoloi. “Kneu, bo mei ga” ? Tanya Kia Wawin. “Meke go dori ulik hen te tia tawa ẽ.”jawab Bala Gletewoloi. (“Teman, mau kemana,” Tanya Kia Wawin. “Saya mau cari tempat untuk menetap”, Jawab Bala Gletewoloi. (sesuai penuturan Bernardus Boli Lejap). (wawancara, 02/07/2012, di Lamahora dan watuwawer).
Dalam dialog selanjutnya antara Bala Glẽtẽwoloi dan Kia Wawin terungkap bahwa sudah ada kakak dari suku Lejap Nujan yaitu Lejap Ruin lebih dahulu tinggal di Watuwawer. Kia Wawin lalu merestui dan menunjuk tempat menetap untuk Lejap Nujan hingga saat ini. Tempatnya berbatasan langsung dengan tempat tinggal suku Lejap Ruin.
Tempat tinggal Lejap Nujan dan Lejap Ruin dulu dibatasi oleh Lorok. Sehinga Wilayah Lejap Nujan disebut Lorok Lere (Lorok=tempat; Lere=rendah, di bawah; Lorok Lere = tempat bawa/rendah), sedangkan Wilayah Lejap Ruin disebut Lorok Golo (Lorok Golo (lorok = tempat; Golo = tinggi-diatas = Lorok Golo = tempat tinggi/diatas) hingga sekarang.
Lorok Golo dan Lorok Lere dibatasi oleh sebuah pagar /Nihar( Nihar=Gamak= pagar). Dulu, batas Lorok itu dibuat Nihar (pagar yang terbuat dari belahan batang pohon Pahlawan). Sampai dengan saat ini, kedua daerah ini dikuasai oleh suku Lejap (Lejap Ruin dan Lejap Nujan) pagarnya sudah tidak ada lagi.
Dalam penuturan sejarah, dulu terdapat beberapa nama tempat yang sangat popular yang menggambarkan kepemilikan suku, misalnya Malawoda, Watwawe, Lorok Golo dan Lorok Lere, Huar Koban, muhuk, Bauwoloi, Woloi, Nuba, Nubawoloi, Ongapapa, Kunu Tawa (pohon sukun). Nama –nama tempat ini sebenarnya punya kisah sejarah yang unik, namun sampai saat ini nama-nama itu tidak terlalu popular lagi. Ia hilang ditelan sang waktu.
2. Warisan
Satu hal yang pasti, semua suku di Watuwawer memiliki kekayaan harta dan warisan masing-masing. Jumlahnya bervariasi. Hanya kekayaan mereka tercatat lebih sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Lejap Ruin-pun tidak mempunyai kekayan suku bahkan rumah adatnya pun sudah punah beberapa tahun silam. Tidak demikian dengan Lejap Nujan. Lejap Nujan memeliki beberapa warisan leluhur sebagai kekayaan, bahkan boleh dibilang terbanyak diantara suku-suku yang lain. Kini harta warisan itu tersimpan rapi di dalam Una rajan.
2.1. Rumah Adat (situs)
Rumah Adat merupakan bangunan rumah tradisional atau Rumah khas daerah di Indonesia. Rumah Adat adalah merupakan bangunan rumah yang mencirikan atau khas bangunan suatu daerah di Indonesia dan melambangkan kebudayaan dan ciri khas serta identitas diri masyarakat setempat. Indonesia dikenal seagai negara yang memiliki keragaman dan kekayaan budaya, beneraka ragam bahasa dan suku dari Sabang sampai Merauke sehingga Indonesia memiliki banyak koleksi rumah-rumah adat.
Hingga saat ini masih banyak suku atau daerah-daerah di Indonesia yang masih mempertahankan rumah adat sebagai upaya untuk memelihara nilai – nilai budaya yang kian tergeser oleh budaya modernisasi global. Biasanya rumah adat tertentu dijadikan sebagai aula (tempat pertemuan), musium atau dibiarkan begitu saja sebagai bentuk dan arsitektur rumah-rumah adat di Indonesia. Masing-masing daerah memiliki bentuk dan arsitektur berbeda sesuai dengan nuansa adat setempat, misalnya rumah adat bali, rumah adat betawi dan jawa, Minagkabau yang memiliki atap mencuat seperti tanduk banteng, begitu juga dengan Rumah adat Jawa yang dikenal dengan Rumah Joglo memiliki atap mengerucut.
Rumah adat pada umumnya dihiasi ukiran-ukiran indah, pada jaman dulu, rumah adat yang tampak paling indah biasa dimiliki para keluarga kerajaan atau ketua adat setempat menggunakan kayu-kayu pilihan dan pengerjaannya dilakukan secara tradisional melibatkan tenaga ahli dibidangnya. Banyak rumah-rumah adat yang saat ini masih berdiri kokoh dan sengaja dipertahankan dan dilestarikan sebagai simbol budaya Indonesia.
Desa Watuwawer, Kecamatan Atadei, Kanbupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur juga memiliki rumah adat yang usianya sudah mencapai ratusan tahun. Umur rumah adat itu berkisar 9 generasi (± 630, satu generasi 70 tahun). Rumah adat ini dimiliki oleh salah satu suku yang mendiami Desa Watuwawer yaitu suku Lejap Nujan.
Bentuknya mengkerucut memiliki empat sisi yang disanggah oleh delapan tiang penyanggah. Atapnya terbuat dari daun kelapa tua, memiliki bagian dalam untuk menyimpan berbagai kekayaan suku dan sarana untuk upacara seremoni. Semua kekayaan dan sarana yang berhubungan dengan adat suku Lejap Nujan tersimpan rapi di dalam rumah adat tersebut.
Dari aspek arsitektur bentuk konstruksi rumah adat terbuat dari bahan-bahan bangunan local daun, kayu dan tali ijuk, keragang, dan tidak menggunakan besi, dan semen baik untuk tiang maupun konstriuksi lainnya. Semua bahan bangunan dipilih dan ditentukan oleh pemegang rumah adat, dan dikerjakan secara gotong royong oleh masyarakat suku Lejap. Tidak seorangpun yang boleh merobah atau mangganti konstruksi yang lapuk/rusak tanpa melalui persetujuan pemegang rumah adat. Semuanya melalui pengaturan pemegang rumah adat. Hal ini dilakukan untuk menjaga keutuhan situs dan juga memelihara struktur adat dan ritus. Rumah adat Lejap Nujan tetap dipelihara dalam konstruksi aslinya. Hal ini dilakukan untuk memelihara nilai-nilai harkat dan martabat kemanusiaan yang terpatri ratusan tahun silam. Rumah adat ini yang kemudian menjadi symbol kebudayaan di Watuwawer.
Jauh sebelumnya, etnis Watuwawer memiliki kepercayaan terhadap nenek moyang animisme dan dinamisme. Mereka sudah memiliki nilai-nilai tradisi adat untuk mengatur pola hubungan antar manusia dan leluhur. Hukum, politik, ekonomi, pemerintahan, pertanahan, perkawinan, menguburkan orang mati, membuka kebun baru, membangun rumah baru, menjamu tamu, olah raga tradisional hadok (tinju tradisional), berperang dan bahkan mendamaikan orang serta mengatur tentang pola hubungan utang piutang juga sudah diatur dalam pola relasi tersebut. Semuanya ini terpola dalam syair, lagu dan tari.
Selain nilai-nilai luhur juga terdapat symbol-simbol yang unik dengan memiliki makna yang dalam. Misalnya symbol susu ibu yang terdapat pada papan pintu masuk rumah adat bagian kiri dan kanan. Setiap komunitas suku Lejap yang ingin masuk dalam rumah adat harus memegang susu yang terukir pada daun pintu Artinya bahwa Rumah adat adalah ibu yang memberi makan kepada semua anaknya. Karena itu susu ibu dimaksud harus dipegang oleh semua yang ingin masuk ke dalam rumah adat tersebut. Artinya mereka merindukan susu ibu (Ina puken) sebagai induk (mama) yang memelihara dan menjaga, menyelimuti, dan menyusui semua anak-anaknya.
Karena itu bagi mereka yang tidak mempertahankan rumah adatnya bahkan tidak memiliki rumah adat, telah kehilangan nilai-nilai kehidupan serta relasi social dengan leluhur. Mereka seperti kehilangan Ina puken sebagai pegangan dalam rumah induk utama, tidak punya ibu dan bapak yang menjaga dan memelihara mereka. Mereka hidup tercerai berai, berjalan sendiri-sendiri, tidak ada pedoman arah atau kompas dalam hidup mereka. Mereka melayang seperti layang-layang tanpa arah yang jelas. Mereka bersama leluhur saling melupakan. Leluhur tidak punya tempat untuk memberi makan kepada keturunannya. Tempat memanggil mereka kembali untuk menyusui, memberi pakaian dan memberikan makanan yang berlimpah untuk kehidupan masa depannya.
2.2. Nama
Seperti halnya rumah adat di wilayah Indonesia yang lain, rumah adat Lejap Nujan ini juga memiliki Nama. Rumah adat ini diberi nama Una Rajan. Dalam tradisi Lamaholot rumah adat dikenal istilah Korke. Una Rajan yang ada di Watuwawer konstruksinya terdiri dari delapan tiang penyangga, namun diantaranya ada satu yang berfungsi sebagai tiang utama/lir wanan. Letaknya di depan bagian kanan dari Rumah Adat/Una Rajan. Lir Wanan menjadi central seluruh ritus rumah adat.
Tiang utama itu disebut lir wanan. Fungsi Lir Wanan menjadi penting pada sebuah rumah adat karena tiang utama ini menjadi patokan arah/central dari semua pergerakan ritus. Misalnya durut tuak (tuang tuak), bakar lilin atau wajak tua magu (memberi makan sirih pinang), harus dilalukan pada tiang utama (lir wanan). Disitulah patokan komunikasi kita dengan leluhur.
Hal ini berlaku juga bagi rumah tinggal. Selalu ada patokan yaitu lir wanan. Disanalah kita beranggapan bahwa Lir Wanan menjadi tempat awal kita berkomunikasi dengan leluhur. Meminta, mengucap syukur dan memanggil leluhur selalu dilakukan di depan pintu tetapi selalu mengambil posisi pada tiang kanan/Lir Wanan.
2.3. Arsitektur
Rumah adat ini memiliki keunikan bentuk arsitektur dengan bentuk puncak atapnya tidak runcing, dahulunya dibuat dari bahan kayu yang dapat bertahan sampai puluhan tahun namun sampai belakangan atap rumah ini tidak diganti dengan seng atau atap jenis lain.
Rumah Induk (Una Rajan) ini dibuat berbentuk empat persegi, panjang dan lebar sama, terdiri dari dua bahagian yaitu bagian muka dan belakang. Hanya ada satu pintu dari bagian depan. Pada daun pintunya terdapat ukiran dalam bentuk pahatan susu ibu pada kedua daun pintu kiri dan kanan. Tidak ada ornamen lain dan umumnya tidak bermotif akar, bunga, daun atau binatang.
2.3. Gading
Nenek moyang Lejap Nujan ketika mulai mengembara dari Betawi/Batavia sampai di Watuwawer, membawa serta tiga batang gading (balar). Ketiga batang gading tersebut yaitu Bala Gletewoloi, Bala Kob dan Bala Gilo. Ketiga batang gading ini tersimpan rapi di dalam Una Rajan Lejap Nujan. Ketiga batang gading tersebut menjadi bukti nyata warisan kekayaan pertama dari suku Lejap Nujan.
Namun sampai di Watuwawer Lejap Nujan memperoleh tambahan dua batang gading lagi yaitu Bala Latang dan Bala Mal Lolo. Bala Latang berasal dari Suku Lajar Latang di Mirek Puke, dan Bala Mal Lolo asalnya dari Lewo Lerek di Waikrata. Dengan demikian maka kekayaan warisan suku Lejap Nujan menjadi 5 batang gading. Kedua batang gading terakhir ini adalah merupakan perolehan dari nenek moyang suku Lejap Nujan di Watuwawer. Kelima batang gading ini saling berpegangan tangan melingkari seluruh keturunannya agar tidak ada yang tercerai berai. Kelima batang gading itu menjadi induk yang saling bekerjasama menjaga dan memelihara keturunannya. Lima Tapi Satu.
 Lima Tapi Satu
Kelima batang gading ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Lima tapi satu. Mereka bersatu dalam memelihara dan menjaga keturunannya. Mereka adalah leluhur yang menjaga, memimpin dan mengarahkan keturunannya supaya tidak tersesat.
Lima tapi satu ini ibarat lima sila dari Pancasila. Ada nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan social. Didalam diri kelima batang gading inilah suku Lejap Nujan menemukan nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan social. Karena itu kelimanya tetap menjadi satu yang utuh dan tak terpisahkan.
Kekayaan rumah adat Lejap Nujan secara fisik dalam bentuk lima batang gading. Secara fisik lima batang gading itu ada dan bisa dibuktikan. Kini ke lima batang gading itu tersimpan rapih dan tertata serta terjaga dengan baik di dalam Una Rajan. Kelima batang gading ini masing-masing dengan ukuran/nilai adat yang berbeda. Warna dan bentuk sedikit ada perbedaan, tetapi perbedaan itu tidak mengurangi nilai secara adat. Kelima batang gading ini melambangkan jiwa, hati nurani dan jantung dari komunitas yang mengamininya.
Kehidupan, keselarasan, kesejahteraan dan keharmonisan menjadi lambang kerukunan diantara mereka yang selalu menjaga dan merawatnya. Gading melambangkan Ibu yang memiliki air susu kehidupan, memiliki pintu untuk melahirkan dan memiliki pelukan yang hangat untuk membesarkan keturunannya. Gading adalah Induk (ina puken) yang menjaga, merawat, memberi makan dan mensejahterakan keturunannya.
Gading juga adalah lambang kekuatan. Karena gading adalah induk (Ina Puken) maka dia melahirkan keturunan seperti bintang di langit dan ikan di laut. Mereka itu adalah Ina, Ama, Tua, Magu Pen Tobe Laga Wujo, Hire Kalang Lawe Laga, dan Pen Beto Ema Ingi. Karena itu ada syair yang diwariskan kepada keturunannya sebagai amanat untuk berperang, menjaga dan melindungi diri, sampai saat ini. Syair untuk menjaga diri dari musu, mengalami kesulitan dalam hidup, boleh menggunakan syair dibawa ini. Syair ini dipakai sebagai sarana komunikasi dengan Ina Puken sebagai leluhur, dan semua nenek moyang yang sudah meninggal.
SYAIR SEREMONI UNTUK BERPERANG
“Ina ama tua magu,
Pẽn Tobẽ Laga Wujo,
Hirẽ Kalang Lawẽ Laga,
Pẽn Bẽto Ẽma Ingi,
Uringen mo puri, wahanan mo mol,
Lik jaga pẽhẽ temei,
Nubar mo lik, Lewor mo jaga,
Niku kamẽ bele,
Moli mo blimutem,
hen kem tobẽ toko wel tuhu,
Tuhu de wei,
genap garap pan pani,
Bitik doka, bitik lodoho,
Unan ne peno namang ne golẽ
Mẽakẽn teu nawu, jad baki,
Olange mere ketuko wolore
Hen no ihiken no ueken
Hereteng mere marete, wat lolonen
Nẽko no wein no wujan
Mei nawu leu uar keja (medan perang………)
Hen go hbel koteke, men hemẽi
Moe umenem lamakem de bẽ ( berikan bagiannya…..)
Ga mol mẽn wahenen
Mo mol kẽ go dor.”*
Perang dan damai, berjuang hidup dan mati untuk melahirkan, membesarkan dan memberi makan serta menghangat semua mereka. Kehangatan seorang ibu memiliki kemahadahsyatan yang luar biasa bagi kehidupan manusia. Karena itu Ina Ama Tua Magu memiliki kekuatan maha dahsyat dalam diri Ina Puken.
Ina Puken adalah mama dari sekelompok orang, mama kita bersama, yang mengabdikan seluruh hidup dan kehidupannya kepada suku, agama dan Negara. Karena itu menjadi kewajiban kita semua untuk memberikan penghormatan yang tulus tanpa pamrih kepadanya. Jiwa, raga dan darahnya ditumpahkan untuk sesuatu kehidupan yang panjang. Ia memberi kehidupan kepada negara (sebagai Ibu Pertiwi), agama (sebagai Ibu dari Yesus) dan bangsa (ibu dari masyarakat kita). Dialah mama yang melahirkan, istri dari seorang laki-laki, anak perempuan dari seorang ayah dan ibu, ibu dari sebuah bangsa dan Negara dan Ibu dari agama.
Seluruh kehidupan Ina Puken dicurahkan untuk anak-anak dan suaminya. Makan (eat), doa (Pray) dan cinta (love) (Gilbert: Abdi Tandur;2006; terjemahan;2007) dipersembahkan untuk menghasilkan generasi penerus yang cerdas, dan bernas bagi kehidupan Negara, Bangsa dan Agama. Tidak ada orang yang mencurahkan seluruh kehidupannya selain mama, untuk kemaslahatan dan kesejahteraan bangsa.
Kelima nilai tersebut diatas menyatu padu dalam kehidupan orang Watuwawer umumnya dan suku Lejap secara khusus. Ketika mereka dipermandikan untuk memeluk agama Katolik mereka menerima agama itu sebagai sebuah pembaharuan hidup dalam iman. Namun demikian mereka juga tidak meninggalkan nilai-nilai adat yang mereka yakini. Waktu untuk leluhur dan waktu untuk Tuhan dipilah sesuai dengan peruntukannya.
Waktu untuk Tuhan dan waktu untuk leluhur adalah kedua hal yang sama- sama berbeda tetapi sama-sama kuat. Kekuatan leluhur dipadukan dengan Lera Wulan Tanah Ekan (Tuhan dalam tradisi Lamaholot). Mereka menjaga dan memelihara rumah adat dan isinya sama seperti ketika mereka memelihara dan menjaga Yesus dalam Tabernakel. Tidak boleh ada orang yang berupaya merusak atau menghalangi kegiatan mereka.
Karena itu ketika Bala Gletewoloi hilang dan akhirnya ditemukan di Muruona (Ile Ape), setiap malam terjadi keributan dan ancaman terus menerus dari nenek moyang terhadap Kera Laba (pemegang rumah adat waktu itu) untuk segera mencari dan menemukan lalu mengembalikannya ke tempat asalnya. Hal ini tejadi karena kelima batang gading itu adalah satu dan tak terpisahkan. Lima Tapi satu. Jika ada yang berpindah tempat, akan terjadi malapetaka. Dan ini sudah terjadi. Mereka yang melakukan pelanggaran itu menerima kutukan yang berujung pada kematian.
2.4. Kain Sutera/Heut
Ketika dalam perjalanannya sampai ke Watuwawer suku Lejap Atwutun membawa serta harta bendanya/kekayaan adat. Mereka memiliki kekayaan adat yang juga mempunyai nilai tersendiri seperti halnya kelima gading yang lain. Suku ini menjaga, melindungi serta merawat Heut/Kain Sutera dalam pelarian mereka untuk mencari tempat tinggal yang aman.
Ketika suku Lejap Nujan sampai di Kampung Watuwawer dan mendapat tempat untuk menetap disana, mereka kemudian berkeinginan untuk memiliki sebuah rumah adat. Maka dibangunlah sebuah Rumah Adat untuk menjadi blimut rajan. Blimut Rajan ini yang kemudian melingkari dan menjaga tiga suku di dalamnya yaitu Lejap Nujan, Lejap Lamatadak dan Lejap Atwutun. Ketiga suku onipun menjadi satu dan tak terpisahkan dalam satu Bliut Rajan/Rumah Adat.
Heut adalah sejenis kain sutera berwana putih bercampur motif batik dengan warna dasar merah. Perpaduan kedua warna ini melambangkan kesucian dan keberanian. Panjang Heut 7 meter. Usianya sekitar ± 630 tahun sama dengan usia kelima batang gading tersebut. Di simpan bersamaan dengan kelima batang gading. Heut disimpan didalam sebuah wadah yang terbuat dari anyaman daun lontar. Wadah tersebut panjangnya 40 cm dan lebarnya 50 cm. Tingginya sekitar 50 cm. Wadah itu disebut Bole.
Heut memiliki makna tersendiri bagi komunitas suku Lejap Nujan, Lejap Lamatadak dan Lejap Atwutun. Ketiga suku ini memaknai Heut sebagai symbol perlindungan, dan menghangatkan. Heut melindungi dari panas dan dingin, penyakit, angin kencang dan bencana serta penyakit. Heut melambangkan kecantikan dan kebesaran serta kemegahan suku.
Biasanya, setiap orang yang bepergian jauh dari kampung halaman boleh membawa sobekan Heut dan diisi di dalam dompetnya. Hal ini dilakukan untuk menjaga diri dari ancaman bahaya. Kepercayaan itu diyakini sampai dengan saat ini. Begitulah menurut mereka. Maknanya adalah mereka tetap dalam lindungan dan keselamatan dari gangguan kejahatan atau apa saja.
2.5. Petek Haren /Sarung Adat
Sama halnya dengan gading dan Heut, Petek Haren (sarung Adat) adalah milik dari suku Lejap Nujan. Ketika dalam pelariannya menuju Watuwawer, suku Lejap Nujan membawa serta sebuah harta kekayaannya adalah Petek yang kemudian diserahkan oleh nenek moyang suku Lejap Nujan, untuk disimpan di rumah adat sampai dengan saat ini. Petek haren/sarung adat ini kemudian menjadi meterai Lejap Nujan agar mereka bergabung dalam satu rumah adat Una Rajan bersama suku Lejap Nujan, dan suku Lejap Lamatadak.
Dengan demikian maka nilai Petek Haren/sarung adat, Heut sama dengan nilai kelima batang gading itu dan kemudian menjadi salah warisan suku Lejap. Sama halnya dengan gading dan Heut, Petek/sarung juga merupakan peninggalan leluhur/nenek moyang Lejap Nujan. Tersimpan rapih dalam sebuah wadah yang disebut Bole (wadah yang dianyam dari daun Lontar muda mempunyai penutup).
Secara fisik Sarung Adat ini memiliki motif/knirek yang kemudian diwariskan kepada semua pewaris suku Lejap Nujan. Motif ini menjadi ciri khas sarung baik sarung adat maupun biasa dari suku Lejap Nujan, Lamatadak dan Atwutun. Motif ini tidak bisa ditiru oleh orang lain atau suku lain. Motif pada sarung ini juga merupakan salah satu kebanggaan tersendiri dari suku Lejap Nujan.
Orang tidak boleh memakai atau menggunakan dua motif yang berbeda ketika menenum sarung adat. Motif dari suku lain tidak boleh digunakan bersamaan dengan motif dari suku Lejap Nujan atau sebaliknya. Diyakini bahwa akan ada kutukan yang terjadi dalam penggunaan bersamaan penggunaan motif. Orang bisa menjadi gila dan bahkan meninggal hanya karena penggunaan dua motif bersamaan.
Simbol Sarung ini melambangkan martabat seorang wanita, kesucian seorang ibu, kehangatan dan harga diri bagi mereka yang memakainya. Tidak semua orang boleh menenun sarung adat. Hanya orang-orang tertentu yang bisa menenum sarung adat. Orang yang menenun sarung adat adalah mereka yang memahami betul motif dan ukuran serta cara merajut benang untuk mengikat motif. Mereka adalah orang-orang yang langka dan biasanya dalam satu suku hanya satu atau dua orang yang boleh menenun sarung adat. Kebiasaan ini berlangsung sampai dengan saat ini. Orang orang yang khusus seperti ini disebut dengan istilah paden (orang yang pintar, piawai, dan telaten menenun sarung adat).
Namun seiring dengan derasnya perkembangan teknologi dan hebatnya arus globalisasi dunia serta perdagangan bebas, kebiasaan menenun sarung adat/petek haren bahkan sarung biasa sekalipun sudah jarang dijumpai lagi, banyak yang tidak tahu menenun lagi. Mereka yang tergolong bisa menenum sarung adat adalah generasi tua, sekarang mereka berusia 70-76 tahun, sehingga mereka semua sudah hampir punah. Sementara kaum mudah yang hidup dalam dunia modernisasi sudah tidak tahu lagi menenun sarung adat bahkan sarung biasa sekalipun.
Untuk itu mesti ada upaya yang intensif menhidupkan kembali tenun sarung adat dan motif. Hanya dengan cara ini saja kita bisa berusaha melestarikan motif yang akhir-akhir ini sudah punah. Caranya ialah membentuk kelompok-kelompok binaan oleh pemerintah desa atau LSM yang peduli terhadap kebudayaan tradisional terutama dalam hal menghidupkan motif yang kian punah.
2.6. Keris/Hemeut
Keris termasuk dalam salah satu peninggalan leluhur Suku Lejap Nujan. Dalam konotasi ini keris diartikan sebagai lambang untuk menjaga diri, berperang, dan juga sebagai lambang kebesaran. Keris merupakan alat untuk membela diri ketika terjadi pertempuran. Keris selalu disamdingkan dengan tombak/lembing. Kedua symbol ini selalu dibawa kemana-mana apabila orang bepergian. Pada jaman dulu orang selalu hidup dalam dunia saling membunuh. Oleh karena itu Keris selalu dibawa bersama dengan tombak/lembing untuk menjaga diri dari serangan musuh dan binatang buas.
Sebagai Alat menjaga diri keris tidak dibawa ke kebun. Demikian pula Keris selalu digunakan oleh sang raja untuk menjadi lambang kebesaran bahkan lambang kekuasaan. Keris menjadi symbol kebesaran. Keris untuk suku Lejap Nujan sebenarnya ada namun sampai dengan saat tidak ada lagi.
2.7. Tombak/Galar
Sama halnya dengan Keris/Hemeut, tombak /Galar juga memiliki makna tersendiri dalam pola kehidupan tradisional orang Watuwawer khususnya dan etnis Lamaholot pada umumnya. Tombak menunjukan kewibawaan bagi mereka yang memilikinya. Tombak adalah alat berbentuk lembing, panjang gagangnya satu setengah meter dan terbuat dari batang kelapa/lontar, salah satu ujungnya dilapisi besi yang sangat tajam, bisa dibawa kemana-mana karena bentuknya ringan, bisa dilempar ke arah sasaran/musuh dengan jarak sekitar 20 meter. Jika terkena tombak maka dengan sendirinya sasaran akan mati.
Alat inipun sekarang sudah tidak ditemukan lagi, kecuali mereka yang ditinggalkan oleh orang tuanya sebagai warisan. Generasi sekarang tidak bisa membuat Tombak untuk dijadikan sebagai alat berperang atau membela diri.
3. Fungsi
Rumah Adat (Una Rajan) sebagai tempat tinggal leluhur, mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Tidak ada kamar sebagai pembatas, karena rumah adat ini berfungsi selain sebagai tempat tinggal para leluhur, juga untuk menyimpan kekayaan suku. Kekayaan suku tidak bisa disimpan di tempat lain, atau berserakan di rumah siapapun. Ini sebuah pantangan agar keselamatan dari kekayaan suku terjaga. Namun hal yang juga penting dari rumah adat (Une Rajan) adalah menjadi tempat tinggal para leluhur, dan pusat melakukan ritus adat. Rumah Besar (Una Rajan) dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga Lagadoni. Di halaman depan Una Rajan biasanya tidak terdapat bangunan yang lain.
4. Sastra
Sastra (Sanskerta: Shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar śās- yang berarti “instruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.
Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu. Jadi, yang termasuk dalam kategori Sastra adalah: pantun, pusi, drama, novel, roman. (id.wikipedia.org/wiki/Sastra, diedit 31/7/2012).
Dalam konteks sastra, suku Lejap Nujan juga memiliki sejenis sastra yaitu lisan (sastra oral). Jenis sastra oral ini dipakai dalam melakukan seremoni adat. Mereka menggunakan sastra lisan (oral) yang hanya dihafal oleh tua adat seremoni adat. Tidak ada sastra tulisan yang dipakai dalam upacara seremoni. Jenis sastra oral (lisan) dipakai untuk mengekspresikan/menyampaikan maksud tertentu dengan leluhur. Sudah menjadi kebiasaan turun temurun dan dipakai sampai dengan saat ini.
5. Syair
Syair selalu ditutur dalam bahasa adat (oral). Ditutur pada saat terjadi seremoni adat. Bentuk syair selalu dalam bahasa yang terkadang hanya diucapkan dan dimengerti oleh orang-orang tertentu saja/tua adat. Kata-katanya selalu dalam bahasa adat yang tinggi, tapi menarik untuk berkomunikasi dengan leluhur. Karena itu juga setiap melakukan seremoni adat digunakan bahasa leluhur. Bahasa leluhur selalu khas, diucapkan pada saat tertentu, tidak sembarangan, pada tempatnya dan waktunya dan hanya berhubungan dengan leluhur, dan hanya diucapkan oleh orang yang mengerti yaitu pemegang rumah adat, serta diucapkan tanpa suara. Syair dalam seremoni adat dibagi dalam dua bagian yaitu antara lain :
5.1 Seremoni pembuka
Setiap melakukan kegiatan adat selalu dilakukan seremoni. Seremoni pembuka dilakukan untuk meminta restu kepada nenek moyang. Seremoni pembuka dilakukan di halaman depan Una Rajan. Para petugas seremoni yaitu pemimpin, pemegang rumah adat dan mi tuak/penuang tuak mengambil posisi melingkar. Mi tuak di tiang kanan rumah adat, pemegang rumah adat di depan pintu masuk dan pemimpin seremoni menghadap pintu masuk. Pintu rumah adat dibuka lebih dahulu sebelum dilakukan upacara seremeoni.
Tahapan berikutnya adalah persiapan sarana upacara seperti wit kingan, were, kapas dan sirih pinang serta tuak dan ayam jantan merah. Mi tuak (penuang tuak) memegang tuak dalam bambu dan konok/gelas, pemegang rumah adat memegang ayam jantan dan pemimpin seremoni membawa giling (tempat sirih) yang didalamnya berisi perlengkapan seremoni. Sementara anggota suku yang lain melingkar dan mengikuti upacara dengan tenang dan khikmat. Selanjutnya pemimpin membentangkan semua perlengkapan upacara diatas tanah, tanpa alas tikar tau semacamnya. Setelah itu pemimpin mulai mengucapkan syair pembuka, yang diucapkan dengan membisik, komat kamit. Ayam dipotong setelah upacara seremoni selesai dan dibakar di halaman rumah adat lalu dimakan bersama-sama.
5.2. Seremoni penutup
Seperti halnya seremoni pembuka, seremoni penutup juga diperlukan untuk memnyampaikan terima kasih dan memohon perlindungan selanjutnya atas apa yang dikerjakan. Syair penutup dalam ritus penutup dibuat sama dengan syair pada ritus pembuka.
6.. Urisele/Tulehele
Menarik untuk dikaji juga adalah Urisele (tule hele). Moment ini digunakan untuk menyampaikan maksud tertentu pada saat tertentu. Misalnya untuk meminang gadis, membangun rumah, upacara pernikahan atau moment yang dianggap boleh menggunakan Urisele. Bahasanya terukur dan dibawakan oleh satu orang sementara yang lain mengikutinya dengan oro (menyambung secara bersama dan teratur tanpa kata-kata). Nanti ada yang lain akan membalas Urisele tersebut secara teratur jika memahami maksud dari penutur pertama. Urisele ini semakin menghilang seiring dengan perubahan waktu. Generasi tua yang membanggakannya telah tiada, lalu yang mudah tidak memiliki bakat untuk melestarikan budaya Urisele ini.
Biasanya ada dua orang laki-laki atau perempuan saling bersahut-sahutan seperti berbalas pantun, namun dalam bahasa daerah yang syarat makna. Urusele selalu dibuat dalam suasana duduk dan bukan untuk ditarikan. Semua yang ada didalam tenda atau tempat pertemuan duduk dan mengikuti urisele dengan tampan. Urisele bukan sebuah permainan dan bukan tarian.
7. Motif/Mowak/Knirek.
Seperti halnya daerah yang lain, semua suku di Watuwawer memiliki motif/mowak dengan corak yang tidak jauh berbeda. Uniknya bahwa suku yang lain tidak boleh meniru motif/mowak dari suku lain. Diyakini bahwa siapa yang memiliki motif/mowak/Knirek dari suku lain Ia akan gila atau sakit bahkan sampai mati.
Dari aspek corak, sebenarnya motif dari setiap suku hampir mirip tetapi selalu ada corak tertentu yang khas suku tersebut. Selalu ada perbedaan yang sangat khas yang ditonjolkan dalam pemakaian motif. Ketrampilan dalam menggunakan motif ini hanya kepada orang-orang tertentu. Tidak semua orang boleh membuat motif. Biasanya hanya perempuan yang terpilih saja yang bisa menggunakan motif dalam menenun.
Nilai dari makna motif adalah menggambarkan kesucian, kesabaran, kekayaan dan harga diri seorang manusia. Ketika mereka menenun dan kemudian memakainya maka harga diri orang tersebut diyakini jauh lebih tinggi dari masyarakat yang lain. Mereka yang bisa menenun dengan menggunakan motif adalah orang-oangg khusus yang disebut paden/pandai menenun atau tei knirek (perut bermotif). Nama terakhir ini hanya dikhususkan bagi perempuan yang bisa membuat sarung adat (petek haren). Orang – orang inilah yang sangat dihargai dan disegani di dalam suku atau komunitas masyarakat yang lain.
8. Batu Asah/Elut
Dalam pandangan tradisional, Elut hanya berfungsi untuk mengasah parang, tombak, pisau dan lain-lain. Namun karena Elut tidak banyak yang memilikinya, maka Elut menjadi barang langka. Elut dalam pandangan moderen disejajarkan dengan pena. Pena dipakai untuk menulis. Pena dipakai untuk menajamkan pikiran, pandangan, nasehat dan petunjuk atau semacamnya, demikian juga Elut yang berfungsi menajamkan parang dan lain-lain. Maka orang yang memiliki Elut dalam tradisi nenek moyang dengan orang yang memiliki pena dalam pandangan modern adalam sama, yaitu menajamkan pisau dan pikiran atau pandangan.
Elut bagi kebanyakan masyarakat memiliki syarat makna dan nilai. Demikian pula bagi orang Watuwawer dan bahkan desa-desa lain. Mereka yang memiliki Elut adalah sebuah kehormatan, kekuasaan, dan kemakmuran. Elut menggambarkan nilai telaten, hati yang lembut, dan rajin. Elut selalu dimiliki oleh orang-orangg terpandang. Elut merupakan warisan yang diturunkan kepada orang-orang tertentu dalam keluarga. Karena Elut hanya satu maka yang pehe elut (pegang elut) adalah anak yang sangat dipercaya akan melangsungkan kewibawaan dalam sebuah rumah tangga.
Bentuknya seperti hati manusia, selalu dibawa pergi dan pulang kebun, disimpan dalam sarung dan diletakan pada tempat yang sangat aman agar jangan sampai jatuh dan patah. Sebagai alat untuk mengasa parang/pisau Elut memiliki nilai yang sangat tinggi. Nilai – nilai itu antara lain :
7.1. Kehormatan;
Hampir dipastikan bahwa tidak semua orang di Watuwawer dan sekitarnya memiliki Elut. Karena itu Elut hanya dimiliki oleh orang-orang yang khusus dan menerimanya dari warisan ayahnya secara turun temurun. Karena elut sebagai lambang kehormatan maka untuk meneruskannya juga hanya diberikan kepda anak yang sangat dipercaya oleh ayahnya. Anak yang dipercaya memegang Elut disebut pehe elut (pegang elut).
Sebagai lambang kehormatan, Elut diwariskan kepada mereka yang sangat dipercayai bisa menjaga, memelihara dan menggunakannya dengan benar dan tepat. Anak yang dipercaya memegang elut tersebut harus menjaga kehormatan keluarga baik di dalam keluarga maupun di kalangan masyarakat luas.
Penurut, rajin, telaten dan selalu bijaksana adalah syarat bagi seorang yang menerima warisan Elut. Biasanya yang pegang elut adalah anak bungsu atau sulung. Oleh karena itu apa yang dikatakan oleh pewaris Elut selalu menjadi panutan, harus ditaati dan selalu didengar. Dia juga menjaga kehormtan keluarga yang bersangkutan.
7.2. Hati yang tulus
Elut memeiliki bentuk seperti hati. Elips dan panjang. Di isi dalam sarung agar aman. Seperti halnya hati yang dilindungi oleh tulang rusuk, karena merupakan alat vital tubuh. Demikianpun Elut sebagai alat yang sangat vital dalam bekerja. Elut selalu dibawa ketika orang mau bekerja di kebun, membangun rumah atau mlakukan pekerjaan apapun.
Elut menggambarkan nilai-nilai yang sangat dalam bagi seorang petani. Dalam kehidupan keseharian juga nilai-nilai luhur seperti rendah hati, tulus, saling menghormati adalah hal-hal positif dalam pola kehidupan sehari-hari bagi mereka yang memilikinya.
Bukan berarti bahwa mereka yang tidak memiliki Elut tidak memiliki nilai-nilai itu, tetapi makna dari Elut sendiri menggambarkan nilai-nilai poisitif seperti itu. Maka Elut bagi mereka yang memilikinya selalu memiliki hati yang tulus.
7.3. Rajin
Rajin atau malas adalah sikap relative bagi manusia. Orang yang rajin adalah mereka yang selalu mencintai segala pekerjaan mereka. Setiap pekerjaan selalu diselesaikan dengan penuh rasa tanggung jawab. Sementara mereka yang malas pasti tidak bisa menyelesaikan pekerjaan mereka dengan penuh rasa tanggung jawab.
Hal yang membuat orang rajin atau malas dalam bekerja, salah satu faktornya memiliki Elut. Elut sebagai alat untuk menajamkan parang membuat orang gampang memotong kayu atau apa saja baik di kebun atau saat yang lain. Jika Elut itu tidak ada maka orang akan menjadi malas dan pekerjaanpun tidak bisa selesai pada waktunya. Maka mereka yang memiliki Elut selalu rajin dan menyelesaikan pekerjaannya dengan baik parangnya selalu tajam. Sementara mereka yang tidak memiliki Elut dengan sendirinya akan meninggalkan pekerjaannya dan tidak selesai, karena parangnya tumpul.
7.4. Pemimpin
Dalam urusan menyelesaikan pekerjaan orang yang memiliki Elut selalu berada di depan, bekerja sekuat tenaga dan selalu yang pertama dalam menyelesaikan pekerjaan. Karena parangnya selalu lebih tajam. Jika tumpul parang diasah di tempat kerja, dan selanjutnya menyelesaikan pekerjaan.
Dalam konsep ini mereka yang memiliki Elut selalu orang-orang yang menjadi pemimpin dalam bekerja. Karena itu selalu disegani, dihormati dan menjadi panutan dalam menyelesaikan pekerjaan.
Kepemimpinan ini kemudian terbawa dalam pola hidup yang terjadi dalam masyarakat. Urusan adat, perkawinan, menasehati, membimbing selalu didengar perkataannya. Dalam konsep budaya gotongg royong di Indonesia meraka yang memiliki Elut adalah pemimpin sejati. Mengatakan dan membuat seirama dan sejalan.
7.5. Kemakmuran
Akumulasi dari kehormatan, hati yang tulus, rajin, pemimpin bagi mereka yang memiliki dan memelihara Elut melahirkan orang yang cerdas dan makmur dalam hidupnya. Kebun yang dikerjakannya pasti besar, hasilnya banyak, maka kehidupan mereka pasti jauh lebih baik dari orang yang tidak memiliki Elut.
Menjadi lambang kemakmuran adalah nilai positif terbesar dari Elut. Orang -orang yang memiliki Elut ini tidak akan kekurangan makanan, karena mereka selalu bekerja dengan cerdas, hasilnya banyak dan cukup untuk makan, membiayai anak sekolah dan membangun rumah yang layak huni. Bahwa belum ada penelitian yang membuktikan Elut bisa mempengaruhi semua itu, tetapi fakta di lapangan membuktikan bahwa mereka yang memiliki Elut selalu hidup jauh lebih layak dari pada yang lainnya.
8. Tarian
Watuwawer sebagai salah satu etnis, juga memiliki tarian beragam. Tarian itu dilakukan untuk sesuatu upacara tertentu. Misalnya untuk menjemput tamu atau upacara Ahar dan lain sebagainya. Tarian tersebut diiringi dengan syair-syair yang sarat makna.
8.1. Kolewalan
Adalah sebuah tarian rakyat atau masal. Dilakukan dengan cara bergandengan tangan sambil membuat lingkaran, menghentakan kaki bersamaan, mengayunkan tangan juga serentak, diiring bunyi gendang yang ditabu oleh seorang yang sangat mahir. Pemimpin atau orang yang dipercaya menyanyikan syair dan diringi oleh sahutan perserta lainnya. Semua melakukannya dalam suasana yang gembira ria. Tidak boleh ada orang yang membuat gaduh atau keributan saat sedang memainkan Kolewalan.
Kolewalan memiliki syair yang unik dan hanya dapat dimengerti oleh kebanyakan orang tua-tua, sedangkan anak muda kebanyakan tidak memahami makna dari syair yang dinyanyikan tersebut. Biasanya hanya satu orang yang menjadi pemandu syair dan satu orang lagi memandu dengan memukul gendang untuk mengiramakan tarian kolewalan.
Kolewalan tidak bisa dimainkan di sembarang tempat dan waktu. Orang pasti merasa kesulitan untuk memainkan Kolewalan disembarang tempat dan waktu karena tidak ada pemandu yang sangat mahir dalam memandu jalannya Kolewalan. Menyanyikan syair secara berurutan, dan memukul gendang dengan irama tertentu – irama kolewalan sangat sulit karena pemandu syair dan gendang itu dipercayakan kepada orang tertentu dalam suku. Karena itu sekalipun di Watuwawer, tidak semua orang bisa menyanyikan syair dan memukul gendang sesuai irama kolewalan.
Sama halnya dengan budaya yang lain di Indonesia, budaya Kolewalan juga memiliki nilai-nilai moral yang sangat tinggi. Nilai sejarah menjadi yang utama dalam Kolewalan. Karena syair-syir dalam kolewalan menuturkan sejarah perjalanan suku-suku yang kemudian menetap di Watuwawer secara berurutan. Nama sukupun disebut dengan menggunakan kata LAMA. Contohnya : Lera lama dike koli wala ole lai roho hele, ele roho hele e e e. setiap suku memiliki nama dalam syair untuk dinyanyikan dalam kolewalan. Suku Wawin, suku Koban, Huar, Waleng, suku Tukan, kesemuanya memiliki syair dalam Kolewalan.
Tapi sebenarnya Kolewalan itu adalah milik suku Lejap. Suku Lejap memperolehnya dengan membeli budaya Kolewalan. Dan kemudian menjadikannya sebagai budaya watuwawer hingga saat ini. Kolewalan sendiri dalam perkembangannya memiliki nilai pariwisata yang tinggi. Hanya komersialisasinya yang tidak profesional. Lalu ada orang merasa sangat tahu dan mengkomersialkannya dengan dalil promosi pariwisata.
Tapi sebenanrnya sadar atau tidak kita sedang mengalami kiris kolewalan. Pemahaman kita yang rendah akan nilai-nilai kolewalan menjadikan kita lengah dan terpaksa jual kolewalan atau bisa juga Ahar. Lalu mereka berceritera begitu hebat bahwa merekalah yang paling tahu dan menjadi pahlawan kesiangan. Pada halnya pengetahuan mereka terhadap Ahar bahkan kolewalan sangat rendah. Orang – orang seperti ini harus diwaspadai karena mereka akan dagang budaya kita.
8.2. Hamang
Hama atau hamang adalah salah satu jenis tarian seperti halnya Kolewalan. Dilakukan secara bersama-sama, bergandengan tangan dan menghentakan kaki bersama-sama dengan irama yang sama. Hama atau Hamang ini tidak diiringi dengan gendang tetapi diiringi dengan giring-giring (retung). Biasanya tarian ini untuk menjemput tamu undangan atau menjadi penutup dari kolewalan (plikunge).
8.3. Holobeba
Holobeba juga sejenis tarian yang khusus ada di Watuwawer. Tarian ini gunanya untuk menjemput atau biasanya lebih banyak dipakai untuk mengiringi Hemelung pada waktu hemelung Ketane (Puncak dari upacara Ahar). Uniknya ialah Holobeba ditarikan dengan cara bergandengan tangan sambil bernyanyi dan berlari mengampiri tamu atau menghantar hemelung pada waktu hemelung ketane. Ramai memang, ketika orang bergandengan tangan sambil bernyani dan berlari. Luar biasa.
BAGIAN KEEMPAT
REFORMASI ADAT
1. Pedahuluan
Apakah adat perlu direformasi ? Dalam pandangan kita masing-masing, jawabannya sudah pasti berbeda. Terlepas dari semua jawaban yang berbeda tersebut, ternyata reformasi adat sudah terjadi sejak lama. Menggusur semua rumah adat dan semua gudang/wetak adalah bentuk dari reformasi adat dan budaya. Menghilangkan dan tidak membangun kembali rumah-rumah adat, adalah bentuk reformasi, yang semula tidak disadari oleh nenek moyang kita.
Keadaan ini berlalu begitu saja tanpa ada yang menyadarinya. Semua orang tertidur lelap bersama menghilangnya semua rumah adat. Orang merasa rumah adat (Una Rajan) tidak terlalu penting. Pemegang rumah adat, ritus dan situs menjadi langka dalam kehidupan ritual adat. Yang pegang rumah adat meninggalkan rumah adatnya. Yang ada di kampung tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai pemegang rumah adat dengan sempurnah.
Ketika pemerintah berupaya untuk melestarikan rumah-rumah adat, semua orang baru kaget. Ternyata rumah adat kita memiliki nilai jual yang luar biasa. Orang lalu tergopoh gapah, membangun rumah adat dan mulai mempesiapkan diri dan rumah adat untuk mendapat uang dan julukan dari pemerintah.
Rupanya nenek moyang kita jauh lebih santun ketika mempertahankan rumah adat dalam bentuk aslinya. Mereka juga tidak berani melawan leluhur dalam banyak hal. Nenek moyang kita tetap pada konsistennya bahwa adat adalah adat. Adat tidak bisa dicampuradukan dengan yang lainnya. Karena mereka yakin bahwa adat menunjuk kepada susunan kemasyarakat yang tradisional. Tetapi adat juga adalah ungkapann kelakuan susila yang individual. (Schreiner:2003)
Nenek moyang kita teguh dan konsisten dalam mempertahankan adat. Ritual dan ritus menjadi harga mati, dan bahkan mereka tidak pernah sedikitpun berpikir untuk melakukan reformasi adat dalam bentuk apapun, dan dengan cara apapapun. Maka sekarang mereka sedang menangis melihat anak cucunya yang mulai gontok-gontokan soal rumah adat, melakukan perlawanan terhadap sesama suku, mulai mengatakan siapa yang sulung dan siapa yang bukan. Siapa yang paling berhak dan siapa yang tidak berhak. Siapa yang berada paling depan dan siapa yang paling belakang.
Tata tertib adat menjadi amburadul. Tidak keruan. Karena semua orang mau menunjukkan betapa ia yang paling berperan. Pelanggarann adat terjadi dimana-mana dan kapan saja. Adat diperjualbelikan sekelompok orang. Sajarah adat menjadi kabur, sementara semua orang mengatakan bahwa dialah yang paling tahu. Ketidak tahuan mereka soal ritus dan situs serta syair sebagai elit dalam adat perlu dipertanyakan.
Apakah ini karena akibat dari reformasi ? Kita semua perlu menjawabnya dengan santun. Marilah kita mengembalikan semua hal ikhwal yang berhubungan dengan adat kejalan yang benar. Tidak perlu kita saling mengkalim. Saling menggerogoti. Saling mendusta. Mari kita duduk satu meja dan mengatakan dengan sesungguhnya. Supaya kita bisa mengembalikan adat pada jalannya yang benar. Supaya kita juga bisa berdamai dengan leluhur kita. Mari kita letakkan rumah adat, ritus dan struktur adat pada jalan yang benar.
Reformasi itu bukan hanya berakibat menghilangkan semua rumah adat dari bentuk aslinya di Watuwawer, tetapi juga membawa dampak yang luas terhadap pola pikir dan perilaku kehidupan social masyarakat Watuwawer, dalam pandangan tentang adat. Banyak orang mulai mengatakan bahwa adat tidak lagi penting, tetapi masih lebih banyak orang mengatakan bahwa adat masih penting. Terdapat dua pandangan dalam masyarakat bahwa adat itu penting dan tidak penting. Kedua pandangan ini sama-sama menguat.
Bagi mereka yang mengatakan adat tidak penting karena menurut mereka adat selalu menjadi penghalang bagi kehidupannya. Terbalik dengan mereka yang mengatakan bahwa aat masih penting. Adat dipandang sebagai sarana menjalani kehidupan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan.
2. Reformasi Adat
Reformasi adat sebenarnya sudah lama terjadi, ketika Pater Nothermans,SVD misionaris Belanda, datang untuk mempermandikan orang-orang dan mendirikan Gereja Katolik di Watuwawer pada tahun 1940. Inilah awal dari reformasi itu. Semua rumah adat harus dibongkar dan dibawa pulang ke wilayah suku masing-masing. Pada halnya pembangunan semua rumah adat pada waktu itu atas kesepakatan semua Kepala Suku.
Untuk mencari lokasi membangun gedung gereja Katolik sebenarnya tidak sulit, karena masih terdapat banyak tanah kosong di sekitar desa Watuwawer. Namun lokasi yang pantas dan dianggap strategis oleh Pater Nothemans adalah lokasi dimana telah berdiri bangunan rumah-rumah adat suku-suku di Watuwawer. Tempat itu yang sekarang ini berdiri Gereja Katolik St. Nikolaus Konrardus.
Jika dilihat dari gebrakan pater Nothermans sebenarnya reformasi itu terjadi pada dua hal. Dua hal yang penting dalam proses reformasi adat itu antara lain reformasi situs (rumah adat) dan reformasi ritus.
2.1. Reformasi Situs (Rumah Adat)
Upaya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dalam berbagai aspek khidupan masyarakat termasuk bidang budaya dan agama, selalu membawa dampak terhadap eksistensi kehidupan manusia. Pembangunan yang dilaksanakan pada suatu wilayah atau daerah tertentu selalu akan membawa dampak. Dampak positif dan negative.
1. 1. Dampak positif
Dampak positif dari sebuah pembangunan selalu akan mempengaruhi kehidupan manusia. Hal ini terjadi jika manusia dianggap sebagai pelaku pembangunan. Manusia yang merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi hasil pembangunan. Hasil pembangunannnya bisa merubah perilaku kehidupan manusia. Manusia dalam konteks ini bisa merasakan atau mengalami hasil pembangunan bagi dirinya, apakah hasil pembangunan itu membawa kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat atau malah mengkhianati manusia.
Bahwa kemudian penduduk Watuwawer memiliki sebuah bangunan gereja betembok semen dan beratap daun ilalang pada waktu itu adalah merupakan hasil reformasi dalam bidang pembangunan religius.
Tujuannya ialah agar masyarakat pada desa Watuwawer dapat menunaikan ibadahnya dengan aman dan tidak terganggu. Karena itu bangunann gereja itu sangat dibutuhkan dalam segala situasi membangun iman umat Katolik di desa Watuwawer. Sebenarnya tidak ada salahnya karena untuk membangun kehidupan religius yang aman dan damai adalah menjadi dasar pemikiran pater Nothermans pada waktu itu. Buktinya sampai dengan saat ini semua orang di Watuwawer sudah beragama dan pemeluk Katolik yang sangat taat kepada agamanya.
1.2. Dampak Negatif
Kebalikan dari dampak positif adalah dampak negative. Jika dampak positif bisa membawa perubahan perilaku manusia ke arah yang lebih baik, maka dampak negative membawa perubahan namun menghancurkan peradaban manusia. Apalagi jika konsep pembangunan itu mengacu pada konsep pembangunan budaya. Misalnya berdampak pada menghilangkan budaya. Dampak kehilangan budaya akan lebih cepat menghancurkan nilai-nilai budaya manusia dan ekosistem. Manusia akan meninggalkan budaya aslinya dan mengikuti perubahan budaya yang baru.
Tanpa sadar kita telah membuang martabat kita dan mengadopsi budaya Barat yang dianggap lebih modern. Kenyataannya adalah bentuk dan corak budaya kita yang asli telah semakin punah sedangkan budaya yang hidup adalah bentuk dan corak budaya baru yang asing sama sekali. Sebenarnya tujuannya menghancurkan peradaban manusia yang telah dipertahankan ratusan tahun dari generasi ke gerasi. Yang masih hidup sekarang hanyalah ritus adat sedangkan bentuk, symbol dan motif sudah banyak yang ditinggalkan.
Orang-orang yang pada masa itu hanya dianggap sebagai obyek, bukan sebagai subyek pembangunan. Mereka menjadi penonton, hanya melihat dan kurang merasakan hasil maupun keterlibatannya dalam pembangunan. Proses pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan bahkan sampai pada evaluasi, masyarakat tidak dilibatkan. Partisipasi masyarakat tidak nampak dalam proses dan pelaksanaan pembangunan.
Bahwa dampak dari pembangunan gedung gereja itu adalah tergusurnya semua rumah adat dari semua suku. Ini dianggap sebagai hal yang buruk karena dengan menggusur semua rumah adat pada waktu itu adalah bentuk pengingkaran terhadap martabat manusia yang kesehariannya hidup, bergaul dan bergumul bersama leluhur.
Masyarakat disuruh begitu saja menggusur semua rumah adat, dibongkar dan tidak boleh ada di tempat semula. Bahwa ada perlawanan pada waktu itu, tetapi karena masyarakat kita adalah masyarakat yang kurang mampu dan dianggap bodoh, maka mereka juga tidak berani melakukan perlawanan. Rumah-rumah adat itu kemudin ada yang dibangun kembali tetapi ada yang hilang sama sekali sampai dengan saat ini.
Karena itu maka sebenarnya kita telah kehilangan identitas diri kita. Adat istiadat, budaya dan pola perilaku keseharian hidup kita menjadi terusik. Sebenarnya warisan leluhur kita harus bisa dipertahankan dengan utuh, disamping tidak menghilangkan agama yang kita anut. Bahwa satu hal positif yang tidak bisa dipungkiri ialah agama dan budaya saling mendukung, keduanya ibarat setali mata uang.
Kedatangan Pater Nothermans sebenarnya membawa peruntungan dibidang agama Katolik, namun karena pemahaman kita yang berbeda tentang adat dan budaya yang tidak sama antara orang Eropa dan orang Indonesia, maka ada yang harus menjadi korban. N. Andriani dalam Lothar Schreiner (2003) menyatakan dengan jelas bahwa membedakan orang Eropa tentang adat dari pengertian orang Indonesia: “ Adat bagi orang-orang Indonesia adalah jalannya dunia yang tak bisa tidak bisa harus begitu, yang bersifat mutlak – yaitu jalannya dunianya sendiri – seperti yang diatur dan dipelihara oleh para bapa leluhur – sehingga setiap orang yang bermaksud mengadakan perubahan-perubahan, melibatkan diri dalam suatu pertentangan dengan para bapa leluhur.” Sementara bagi kami (orang-orang Eropa), adat adalah,” kebiasaan yang telah menjadi hukum.” Karena itu dikalangan bangsa-bangsa yang tidak mempunyai tulisan, apa yang dilakukan oleh manusia seluruh kebudayaannya, diasalkan pada suatu teladan mitis.
2.2. Melanggar Adat
Pada era reformasi ini banyak hal yang dilanggar dalam upaya mempertahankan ritus dan situs rumah adat. Banyak pelangaran yang secara tidak sadar telah dilakukan. Pelanggaran -pelanggaran tersebut membawa dampak yang kurang menguntugkan dalam hal mempertahankan ritus dan situs rumah adat, termasuk Rumah Adat Lejap Nujan yaitu Una Rajan.
Rumah adat Una Rajan harus tetap dalam corak dan bentuk aslinya seperti sekarang ini. Karena itu mengganti bahan bangunan rumah adat dengan bahan yang bukan dari kayu dan tali adalah hal yang melanggar amanat para leluhur. Hal ini juga berlaku untuk halaman rumah adat Una Rajan. Tumbuhan, batu, tanah dan segala yang berada di area Una Rajan tidak boleh dipindahkan sesuka siapa. Tanaman hidup tidak dicabut semau siapa. Juga termasuk tanggul penahan juga tidak boleh dibangun dengan menggunakan semen atau besi. Harus dibuat dengan menyusun batu pagar (ator) untuk melindungi bagian tanah akibat banjir. Nilai orisinilnya hilang.
Selain itu, tidak menyalakan lampu di dalam rumah adat adalah sebuah hal yang merupakan pelanggaran. Semasa dulu, selalu ada lampu yang terbuat dari damar dan kapas yang ditumbuk lalu dililitkan pada sebatang lidi atau kayu berbentuk lidi (damir) dan selalu dinyalakan oleh nenek Hom Prahong setiap malam. Sekarang tidak ada lagi lampu yang menyala, untuk menerangi leluhur kita yang memelihara dan menjaga kita. Mereka dalam kegelapan sejak nenek Hom Prahong meninggal puluhan tahun lalu. Hom Prahong sangat taat pada tugas dan tanggung jawabnya. Siapa pernah berpikir tentang semua itu. Mestinya semua harus ditegakkan kembali ke jalan yang benar,.
Labalanang dan Kera Laba menjadi pemegang rumah adat yang sangat dihormati dan disegani sampai mereka menghembuskan napas terakhir. Mereka menjadi panutan dan disegani sama halnya dengan keseganan orang terhadap Una Rajan. Mereka menjalankan tugas tanpa pamrih, ulet, telaten, teliti dan tanpa membedakan pelayanan terhadap semua orang.
Hom Prahong, Labalanang dan Kera Laba adalah orang-orang yang dalam menjalakan tugasnya tidak pernah memikirkan balas jasa. Dalam kehidupan yang tua dan renta Hom Prahong tetap menyalakan lampu sampai ajal menjemputnya. Labalanang tetap setia dan eksis menjalankan tugasnya dengan setia, sampai leluhur menjemputnya. Kera Laba juga tidak melanggar satu aturan adatpun yang menjadi tugas utama yang diembannya selama hidupnya. Mereka tidak digaji dengan uang atau emas sekalipun. Mereka tabah dan sangat terpuji dalam menjalankan tugasnya. Mereka adalah pahlawan Una Rajan yang adalah Ina Puken kita semua. Mereka adalah teladan. Tapi kita tak meniru mereka.
Ketika semua orang membutuhkan mereka disanalah mereka hadir dengan penuh cinta kasih, tanpa pamrih. Bahkan mereka rela meninggalkan anak dan istrinya hanya untuk melayani semua orang yang bernaung dalam Una Rajan. Baik Labalanang maupun Kera Laba keduanya tidak pernah membunuh orang melalui rumah adat (pemar). Haram untuk mereka. Mungkinkah kita akan sama seperti mereka ?.
Keduanya menjadi penghubung yang setia antara manusia yang masih hidup dengan leluhur. Setiap syair yang diucapkan didengar oleh leluhur. Sehingga hampir pasti selama mereka bertugas memegang rumah adat, nyaris tak ada pelanggaran. Kalau pun ada pelanggaran mereka bisa meredamnya karena kedekatan mereka dengan leluhur. Melalui amet kepada leluhur mereka meminta maaf atau meminta restu.
Disisi lain kebun yang menjadi bagian dari rumah Adat Una Rajan (Kebote/Rahim) telah dijual. Kebun yang berlokasi di Botan adalah kebun yang merupakan hak dari Una Rajan telah habis dijual. Persoalannya adalah bagaimana leluhur dapat memberi makan kepada turunannya kalau kebunnya saja tidak ada ?
Lebih santun lagi kalau tugas dan fungsi pemegang rumah adat dikembalikan kepada siapa yang lebih paham dan mengetahui tata upacara ritus adat. Karena pemegang rumah adat Una Rajan ini tidak bisa diganti oleh siapapun kecuali keturunan pemegang rumah adat, maka pemegang rumah adat harus menjalankan tugas dan fungsinya, mengetahui tata upacara, ritus dan syair untuk berkomunikasi dengan para leluhur. Amet adalah hal yang utama bagi pemegang rumah adat. Karena itu tidak ada celah sedikitpun untuk mengambil alih tugas dan fungsi pemegang rumah adat. Dia akan lebih dulu dan minum lebih dulu. Apa maksudnya itu ?
Pemegang rumah adat menjadi central dalam ritus tetapi juga menjaga situs rumah adat. Segala hal yang berhubungan dengan segala aktifitas rumah adat, pemegang rumah adat mengendalikannya. Mulai dari Tule Ahar sampai dengan hedol dohor selalu dikendalikannya. Upacara ritual dipimpin olehnya. Bukan oleh orang lain. Maka tanggung jawabnya sangat besar.
Karena itu menjadi hal yang keliru kalau kemudian segala aktivitas dalam rumah adat diambil alih oleh orang lain. Kita akan kehilangan pemimpin adat Una Rajan, tidak ada yang menjadi panutan, disegani, dihormati dan menjadi orang pertama yang tahu tentang banyak hal yang berhubungan dengan rumah adat (Una Rajan).
Semua tugas harus diserahkan kepada orangnya yang tepat. Karena semua tugas sudah dibagi atas kesepatakan para leluhur maka tidak menjadi santun kalau kemudian dialihkan kepada orang lain. Mi Tuak harus menjalankan tugasnya, Ua Hemelung harus dilakukan oleh orang yang menjadi tugasnya, Amet dan memimpin upacara adat harus dilakukan oleh siapa yang menjadi tugasnya, sehingga tidak terkesan adanya pelanggaran adat. Itu tata tertib adat.
Melanggar adat adalah hal yang dirasakan aneh dan tidak terpuji. Maka jangan ada upaya dari siapapun untuk melanggar adat. Misalnya acara Tun Kwar Ga (bakar jagung muda), atau Ahar oleh pemegang rumah adat harus dilakukan di lokasi rumah adat bukan ditempat lain. Tun Kwar Ga adalah sebuah moment untuk memberi berkat dengan air kepada semua anggota suku yang datang membawa berbagai bibit, binatang atau apa saja. Demikian pula Seremoni adat dilakukan oleh pemegang rumah adat. Bahwa ada hal lain itu soal lain dan tidak terjadi secara terus menrus. Inilah krisis adat kita.
Kondisi ini menggambarkan bahwa kita tidak konsisten mempertahankan tradisi ritus dan situs rumah adat kita. Krisis ini janganlah dipertahankan tetapi marilah kita secara sadar dan tawakal mengembalikannya dan mempertahankan warisan budaya leluhur hingga kita dan bahkan anak cucu kita yang akan datang. Bukankah ini adalah kebanggaan kita ?
Reformasi adat tidak bisa dilakukan oleh siapapun dan kapanpun juga. Jika ada yang ingin melalukan reformasi sama halnya dengan menghilangkan adat di Watuwawer. Karena dengan mereformasi adat kita kehilangan jati diri. Kita kehilangan nilai-nilai moral. Kita kehilangan martabat. Dan kita kehilangan identitas diri kita.
BAGIAN KELIMA
RITUAL ADAT
Ritual adat menjadi focus ketika kita bicara tentang tata upacara adat. Ada dua jenis ritual, yaitu ritual pembuka dan ritual penutup. Ritual adat menjadi moment yang selalu menjadi central setiap kegiatan di rumah adat. Tanpa ritual adat kita tidak bisa melakukan hal-hal yang berkaitan dengan suku dan rumah adat. Rumah adat menjadi pusat segala kegiatan baik berupa kegiatan fisik maupun kegiatan ritual adat/non fisik. Setiap ritual adat selalu berlangsung di rumah adat. Menjadi kesalahan jika ritual adat dilakukan di rumah pemegang rumah adat atau ditempat lain kecuali disetujui oleh pemegang rumah adat. Baik itu kegiatan Ahar maupun Tun Kwar Ga ( tun=bakar; kwar-kwaror= jagung; Ga=makan) oleh pemegang rumah adat.
1. Ritual Pembuka
Selalu dalam setiap saat sebelum diadakan berbagai kegiatan yang berlangsung di Rumah Adat, dilakukan ritual pembuka. Ritus pembuka dilakukan pada saat kegiatan apa saja yang berlangsung di lokasi rumah Adat. Tidak dibenarkan seremonial yang berhubungan dengan segala aktivitas rumah adat dilakukan di luar lokasi rumah adat, kecali hal-hl tertentu.
Harus dilakukan dipelataran rumah adat persis pintu masuk rumah adat. Sebelum dilakukan upacara seremoni pintu rumah adat dibuka terlebih dahulu. Maksudnya agar leluhur menerima seluruh persembahan seremoni tersebut. Namun demikian seremoni bisa juga dilakukan di tempat lain misalnya membangun rumah baru, membuka kebun baru, upacara penyembuhan orang sakit atau upacara-uacara yang bisa bersifat pribadi atau umum.
Dalam ritus pembuka tersebut ada beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain, pemimpin, peserta, peralatan dan tempat.
1.1 Peserta
Orang yang hadir dalam pelaksanaan Ritus pembuka itu antara lain :
Pembawa ritus pembuka/seremoni; adalah pemegang rumah adat atau orang yang ditunjuk untuk memimpin upacara pembuka. Dia adalah pemegang rumah adat yang bersangkutan atau bisa juga pemegang rumah adat suku lain ( tua adat yang lain). Syarat orang ini harus benar-benar memahami ritus (syair dan tata cara) untuk meminta restu (amet) dan atau meminta persetujuan leluhur yang berkaitan dengan kegiatan yang akan dibuat.
Dalam melakukan ritus pembuka/seremoni tersebut tua adat, harus menyiapkan wit kingan, were, benang, kapas, tuak dan konok, serta ayam jantan merah. Tugas Tua adat adalah memimpin jalannya upacara, memohon restu/amet kepada leluhur. Tua adat mengucapkan syair dalam upacara seremoni. Statusnya dalam suku sangat disegani karena dia juga termasuk orang yang dituakan, disamping Tua Adat merupakan orang yang memegang warisan keturunan untuk memimpin seremoni dimaksud.
Tua Adat adalah orang yang diyakini bisa berhubungan dengan leluhur melalui upacara seremoni adat. Tua adat juga bisa meminta restu atau menyumpahi orang melalui leluhur di rumah adat. Mulutnya sangat manjur untuk memanggil, meminta atau menolak sesuatu kepada leluhur. Melalui syair tua adat ini bisa berhubungan bahkan sangat erat dengan leluhur (tua magu).
1.2. Tempat;
Untuk memulai seremoni tua adat harus menentukan atau memilih tempat yang tepat. Biasanya didepan rumah adat, depan pintu masuk atau ditempat lain sesuai dengan kebutuhan. Tidak dilakukan di sembarang tempat.
1.3. Sarana
Untuk melaksanakan Ritus selain dibutuhkan peran tua adat, juga dibutuhkan alat/sarana ritus berupa benda-benda adat yang dipakai oleh Tua adat. Berbagai sarana/alat yang dipakai bervariasi dalam bentuk dan corak. Alat-alat yang dipakai tersebut dibuat dari daun, biji/buah dan binatang (selalu ayam jantan merah).
1.4. Wit Kingan/telinga kambing;
Wadah seperti piring, sangat kecil, bersudut ganjil (lima), terbuat dari daun lontar muda (selalu berwarna putih) disiapkan sesuai kebutuhan, biasanya dipakai enam Wit Kingan untuk sekali ritus, diletakan di atas tanah melingkar sehingga letaknya membentuk segi enam. Wit Kingan tidak disiapkan dalam jumlah yang banyak tetapi disiapkan/dianyam pada saat dilakukan upacara ritus.
Wit Kingan tidak dianyam oleh sembarang orang, dan hanya dianyam oleh orang yang membuat ritus adat, atau orang yang ditunjuk tua adat. Biasanya dianyam pada saat dilakukan ritus. Tidak dianyam sebelumnya dalam jumlah yang banyak. Wit Kingan hanya dipakai untuk membuat ritus adat atau ritus yang lain. Benda-benda ini biasanya dipakai karena diyakini memiliki nilai tertentu, sehingga orang takut untuk memakai atau menggunakannya sembarangangan.
1.5. Were
Were selalu dalam bentuk beras merah halus yang dipakai sebagai salah satu sarana untuk melengkapi upacara Ritus. Dalam upacara ritus ini Were dihamburkan sekeliling Wit Kingan searah jarum jam. Tujuannya adalah memberi makan leluhur sebelum manusia makan. Biasanya disiapkan oleh orang yang memimpin ritus juga dalam jumlah yang disesuaikan dengan kebutuhan.
1.6. Kapas Putih
Kapas adalah lambang kesucian, putih, halus dan bersih. Suci karena kapas tidak ternoda dan dari asalnya sudah putih, dan bersih. Dipakai dalam banyak hal, untuk kebersihan dan kecantikan wanita, membersihkan kotoran, debu atau luka dan juga dipintal menjadi benang. Kapas dipakai juga dalam upacara seremoni untuk membersihkan hal-hal yang kotor dan kurang sehat.
Penggunaan kapas dalam seremoni melambangkan bahwa kesucian dan kebersihan yang ditampilkan oleh kapas akan membawa nilia-nilai kesucian dan kebersihan oleh orang-orang dalam suku tersebut. Kapas dibuat dalam bentuk bulatan kecil sebanyak 6 (enam) buah dan diletakan diantara Wit Kingan. Urutannya penggunaannya Wit Kingan, were dan setelah itu baru Kapas yang terakhir. Tujuannya untuk membersihkan kita semua yang hadir dari hal-hal yang buruk.
1.7. Tuak
Tuak adalah sejenis cairan berwarna putih, rasanya enak kalau diminum, kadar alkoholnya sangat rendah disadap dari pohon Kelapa, Enau atau Lontar. Keberadaannya dalam upacara seremoni sebagai lambang persatuan dan kesatuan. Tuak diisi dalam sebuah ruas bambu dan selalu bersama konok (tempat menuangkan tuak yang terbuat dari batok kelapa). Tuak dan konok dipakai pada saat seremoni bersamaan dengan Wit Kingan, Were, Kapas dan benang. Tuak disuguhkan pada penutup seremoni dan diminum berurutan, pertama oleh tua adat, kedua oleh pemegang rumah adat dan ketiga oleh mi tuak lalu diikuti oleh semua orang yang hadir. Nilainya adalah mempersatukan dan menggenapi yang kurang serta menambahkan yang sudah ada.
1.8. Giling/Tempat Sirih
Giling adalah wadah berbentuk segi empat untuk menyimpan sarana-sarana upacara. Giling berfungsi ganda selain sebagai tempat menyimpan sarana-sarana upacara. Giling selalu dibawa oleh pemiliknya kemana-mana, ke kebun, ke pesta atau ke tempat ritual adat. Terutama oleh ibu-ibu dan tua adat. Isi Giling berupa tembakau, sirih pinang, wajak (tempat kapur sirih) dan keperluan lain yang menurut pemiliknya bisa disimpan dan bisa dibawa kemana-mana.
Giling terbuat dari anyaman daun lontar atau daun pandan, berbentuk segi empat, dan berukuran kecil, dan sedang, ringan, bisa dibawa kemana-mana, didalamnya terdapat beberapa bilik kecil sebagai pemisah penyimpanan. Bentuknya segi empat, bagian luar pinggir atas dan bawahnya dilapisi dengan irisan pelepa lontar agar benar-benar bentuknya menyerupai segi empat. Ada bilik bagian bawah terpisah dari bilik bagian atas berbentuk laci yang bisa didorong keluar dan masuk.
2. Jenis Ritus
Setiap kagiatan yang dilakukan khusus yang berhubungan dengan aktivitas rumah adat selalu dilakukan dalam dua jenis ritus yaitu Ritus Pembuka dan Ritus Penutup.
2.1. Ritus Pembuka
Ritus ini dilakukan mengawali seluruh kegiatan. Ritus bertujuan untuk memberi makan/minum dan meminta restu kepada leluhur agar seluruh kegiatan yang dilaksanakan dapat berjalan dengan lancar. Jika tidak dilakukan ritus pembuka maka diyakini akan terjadi hal-hal yang kurang baik, karena tidak direstui oleh leluhur.
2.2. Ritus Penutup/Toba likat
Seperti halnya ritus pembuka, ritus penutup dilakukan pada akhir dari seluruh aktifitas rumah adat. Ritus penutup untuk menutup seluruh rangkaian kegiatan yang berlangsung. Ritus ini juga dilakukan untuk mengucapkan terima kasih kepada leluhur atas berkat dan penyertaannya selama kegiatan berlangsung.
Sebenarnya ada ritus antara yaitu ritus yang dilakukan selama proses kegiatan berlangsung. Ritus ini tidak dilakukan seperti ritus pembuka atau ritus penutup, tetapi ritus ini prosesnya lebih sederhana dan tidak selengkap kedua ritus tersebut diatas. Ritus ini bisa dibuat bisa juga tidak seperti halnya ritus pembuka dan ritus penutup.
BAGIAN KEENAM
PELESTARIAN RUMAH ADAT (UNA RAJAN)
Perubahan Ilmu Pengetahuan dan tekonologi informasi dipercaya cepat atau lambat akan membawa perubahan terhadap martabat manusia terutama dalam bidang kebudayaan. Kebudayaan dianggap sebagai filter untuk menjaga keaslian sebuah etnis. Etnis bisa bertahan jika kebudayaan dipertahankan sebagai akar martabat bangsa, negara dan agama. Pelestarian rumah adat mutlak diperlukan. Tujuannya adalah untuk menjaga kelestarian situs, ritus, syair, lagu dan tari.
Demikian pula upaya pelestarian budaya tradisional berupa nilai-nilai kebudayaan dan kearifan local, dimaksudkan untuk menjaga dan memelihara kebudayaan tradisional yang ada dalam masyarakat agar tidak lekang oleh perubahan zaman. Pengaruh modernisasi membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi kebudayaan tradisional. Justru kebudayaan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat dalam bentuk nilai-nilai itu menjadi martabat dan harga diri masyarakat.
Memang kita harus akui bahwa pengaruh budaya asing yang begitu gencar masuk ke perut bumi Indonesia telah menjadi gejalah yang kurang baik terhadap eksistensi kebudayaan bangsa Indonesia. Harus diakui, kita telah lengah dalam mengelola dan melestarikan kebudayan tradisional. Akibatnya banyak kebudayaan diambil alih oleh bangsa lain sebagai kebudayaan mereka.
Apapun akibatnya kita harus mempunyai komitmen yang kuat dalam melestarikan kebudayaan tradisional. Semua pihak harus bekerja sama, bahu membahu untuk melestarikan kebudayaan kita. Berbagai cara dan kemampuan kita curahkan untuk melestarikan kebudayaan kita yang beraneka ragam ini. Upaya pelestarian itu dilakukan melalui beberapa cara antara lain :
1. Pelestarian Situs Budaya
Bentuk yang orisinil dari rumahh adat Lejap Nujan merupakan sebuah kehormatan dan derajat yang harus tetap dipertahankan. Karena itu menjadi kewajiban semua pihak terumtama pemerintah dan masyarakat untuk tetap mempertahankan bentuk yang orisinil Una Rajan.
Bahwa dari waktu ke waktu selalu tetap dilakukan perbaikan namun bentuk aslinya tetap tidak boleh mengalami perubahan. Tiang yang terbuat dari kayu, terdapat susu seorang wanita pada daun pintu masuk, atap dari daun Kelapa, tali dari ijuk, dan berbagai bahan yang dipakai tidak boleh mengalami perubahan. Haram untuk menggunakan besi, logam atau semen. Menjaga keaslian dari rumah adat adalah upaya memelihara ritus dan berbagai bentuk dari rumah adat. Proses pengerjaannyapun dilakukan dengan sangat hati-hati dan direncanakan waktunya dengan matang. Semua bahan bangunan itu harus dilihat dan direstui oleh tua adat.
2. Pelestarian Ritus Budaya
Ritus budaya merupakan pintu masuk untuk berkomunikasi dengan leluhur/nenek moyang/tua magu.Semuakegiatan adat selalu dimulai dengan ritus. Maka ritus menjadi sarana untuk berkomunikasi dengan leluhur. Dalam berkomunikasi dengan leluhur digunakan kata-kata yang tidak bisa diungkapkan oleh sembarang orang dan dengan suara yang lantang. Kata-kata komunikatif tersebut harus dijaga, dipelihara dan tidak boleh dipakai dan dilanggar oleh siapapun sesuka hati termasuk orang yang menjalankan ritus dimaksud.
Roh/nafas dari Una rajan ada pada ritus yang diyakini. Begitu kuatnya keyakinan Roh/nafas dari Una Rajan, sehingga tidak dibenarkan setiap orang bebas atau leluasa menggunakan ritus. Maka ritus harus djaga seperti roh/nafas manusia. Tanpa ritus Una Rajan akan mati dan hanya sebagai sebuah bangunan kosong. Jika hal ini disalah gunakan maka orang yang melanggar itu harus meminta maaf melalui pemegang rumah adat kepada para leluhur, kalau tidak maka orang tersebut cepat atau lambat akan menghadapi malapetaka dan penderitaan hingga berujung pada kematian. Tata tertib upacara harus menjadi kekuatan untuk menata kehidupan dan keberlangsungan ritus itu sendiri.
3. Struktur Una Rajan
Una Rajan memayungi tiga suku. Pertama Lejap Nujan sebagai yang paling besar, yang kedua Lejap Lamatadak dan ketiga Lejap Atwutun. Ketiga suku ini memiliki satu rumah adat. Karena itu perlu dibutuhkan struktur untuk mengatur pembagian tugas. Rumah adat Lejap Nujan memangku ketiga suku ini sehingga berada dalam satu lingkaran situs, dan satu struktur yang ditetapkan oleh nenek moyang. dan ditaati sampai dengan saat ini.
Dari ketiga suku ini datang tidak berurutan. Yang pertama datang adalah suku Lejap Nujan. Yang kedua Lamatadak dan terakhir adalah Atwutun. Untuk bersatu dalam satu situs/Rumah Adat maka Hak dan kewajiban ketiga suku ini sama sesuai dengan struktur yang telah diterima dari para leluhur. Karena itu tidak elok kalau kemudian ada yang berupaya untuk mengganti struktur adat dimaksud. Kepala suku, pemegang rumah adat (pehe una rajan), Mi tuak dan Ua hemelung serta mekeng melerei (juru bicara) sudah ditetapkan sejak dulu kala. Sudah ada tugas dan tanggung jawab masing-masing.
Dalam pelaksanaan tugas dibagi menjadi empat bagian yaitu Kepala Suku; kedua Pelayan (mi tuak), ketiga Penghibur (Ua Hemelung), dan penjaga rumah adat.
4. Kepala Suku
Kepala Suku dalam konsep ini dipahami sebagai yang menyatukan, merangkul dan menghimpun khalayak untuk sesuatu urusan, termasuk urusan bernuansa adat. Dia yang membagi tugas, melihat dan mengevaluasi semua kegiatan adat sekecil apapun. Apakah kegiatan itu sesuai dengan struktur ataukah tidak. ? Biasanya Ia yang memangku seluruh aktifitas yangberhubungan dengan rumah adat serta proses adat itu sendiri.
Kepala suku menjadi tempat bertanya, tempat meminta restu dan yang menentukan segalanya. Sementra Ia adalah orang yang menjaga struktur, dan semua yang lain melaksanakan struktur sesuai dengan ketaatan azas. Ia orang yang terpandang karena kepemimpinannya, kebijaksanaannya, dan kewibawaannya. Untuk Suku Lejap Nujan yang menjadi Kepala suku adalah Lagadoni. Dialah orang Lejap Nujan yang menerima tugas ini sejak Ia masih hidup sampai dengan saat ini walaupunIa sudah mati. Sekarng ini struktur Kepala Suku sudah sangat kabur. Kita tidak tahu agi siapa yang menjadi Kepala suku Lejap Nujan, sehingga muncul struktur yang kabur. Mestinya keturunan Lagadoni tetap memegang tampuk ini.
Jika diurutkan silsilah itu maka sekarang yang menjadi Kepala suku Lejap Nujan adalah Keturunan Lagadoni secara langsung. Ini harus diwariskan kepada Meran, Ola Dopa atau Kia Bala. Lucunya sampai dengan saat ini mereka juga tidak pernah berpikir kearah itu. Akibatnya terjadi kevakuman Kepala Suku. Dampaknya adalah semua orang mulai berupaya untuk menjadi Kepala Suku. Inikan lucu sekali.
Tugas teknis yang lain didelegasikan kepada mereka yang juga sudah ditentukan sejak dahulu kala untuk merencanakan, mengatur, dan melaksanakan hal-hal yang berhubungan dengan adat. Waktu, makan, minum, peserta, pakaian, tempat upacara adat, dan tata cara adat (ritus) dia yang menentukan. Kepala Suku didengar, dihormati, di daulat dan memberi delegasi kepada struktur. Tanpa Kepala suku semua urusan akan tidak boleh berjalan.
Konsep ini sama persis seperti struktur Gereja atau Negara. Gereja mempertahankan Ritus selama ribuan tahun. Bukan tidak pernah berubah, tetapi perubahan itu diatur sedemikian sehingga Gereja tidak mengalami degradasi struktur. Umumnya perubahan – perubahan yang dilakukan itu tidak membawa krisis terhadap struktur gereja Katolik. Paus memimpin struktur Gereja Katolik dari Roma sampai kepada semua Paroki di seluruh dunia, tanpa siapapun yang berani menentang struktur. Yang melaksanakan apa telah digariskan oleh Paus sebagai Kepala Gereja Katolik.
Sejajar dengan itu negara juga memiliki struktur yang harus dijaga agar tidak terjadi krisis. Jika Negara tidak mempunyai kemampuan untuk menjaga struktur pemerintahan maka Negara akan mengalami disintegrasi. Pemerintah (Pusat – Desa) harus menjaga struktur sampai kepada tingkat Rukun tetangga. Negara tidak boleh membiarkan atau melakukan pembiaran terhadap struktur yang paling bawah.
Kepala suku sebagai pemegang kuasa adat menjaga strruktur adat agar jangan disalah gunakan. Dialah yang menentukan tempat rumah adat, dia yang menentukan pesta rumah adat (heban), dia yang menentukan siapa penjaga, siapa mi tuak dan siapa Ua Hemelung. Karena itu mesti ada orang yang memimpin rumah adat dan memberikan tugas dalam struktur adat. Harus dipahami bahwa ketika rumah adat ada/dibangun struktur sudah ada. Yang harus dipahami adalah siapa yang menjadi Blimut Rajan untuk menentukan struktur dalam adat kita.
Bereda dengan yang namanya Blumit Rajan. Blimut Rajan bukanlah wujud manusia yang kelihatan. Dia adalah para leluhur yang telah menjadi roh atas Mereka sementara melihat dan memantau orang-orang yang masih hidup. Mereka sedang memantau kehidupan danperilku kita atas apa yang telah meekagariskan swaktu masih hidup. Mereka tahu dan taat pada aturan-aturan adat yang telah menjadi kesepakatan mereka terdahulu. Mereka menjaga dan memelihara struktur adat dengan rapih dan cerdas. Karena itu tidak boleh ada pelanggaran adat sedikitpun. Dalammenjalankan tugas mereka, tidak ada kolusi yang dibangun untuk meencederai struktur adat. Struktur adat bagi mereka tak ada penolakan struktur.
5. Pelayan (Mi tuak/tuang tuak)
Berbeda dengan Kepala suku, pelayan/mi tuak memberikan layanan apabila ada hajatan yang berlangsung dalam rumah adat tersebut. Baik seremoni adat atau upacara ahar/ tule ahar, mi tuak memegang peranan penting dalam proses ritus dalam rumah adat. Karena tugasnya berhubungan dengan pelayanan maka selama upacara adat berlangsung pelayan tidak boleh lalai dalam melaksanakan tugas. Tugas utama tuang tuak harus dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab. Karena tugas ini tidak bisa diserahkan kepada pihak lain kecuali keturunannnya punah. Dalam upacara apapun mi tuak tidak bisa diwakili oleh siapapun.
6. Penghibur
Sebenarnya masih ada lagi satu bentuk struktur adat Lejap Nujan yang sangat penting berperan dalam setiap ritual adat adalah penghibur. Tugas dari penghibur adalah memberikan hiburan dalam bentuk lagu dan tarian. Setiap kali terjadi perhelatan adat di suku Lejap Nujan, penghibur selalu memberikan hiburan kepada para peserta kenduri saat berlangsungnya upacara adat.
Bentuk hiburan yang paling sering dilakukan adalah ketika terjadi upacara Ahar/Tule Ahar. Dalam proses Tule Ahar penghibur datang membawa kegembiraan atau kesedihan yaitu dengan membawa daun Hemelung yang ditengarai bisa membawa kesembuhan bagi orang yang mengikuti proses tule Ahar.
Ketika penghibur datang dalam kegembiraan, didampingi oleh beberapa orang penari laki-laki dan perempuan, bergandengan tangan sambil membawakan tari Holobeba dan bernyanyi dari tempat di mana pohon Hemelung tumbuh sampai ke lokasi tempat diadakannya upacara Ahar. Hemelung ketane menjadi moment puncak dari seluruh proses Tule Ahar. Saat inilah yang dinantikan karena akan ada hiburan dalam bentuk hama etikan. Semua bergembira ria dalam kebersamaan melalui tarian.
7. Hemelung
Adalah sejenis tumbuhan yang hidup di daerah tropis, di daerah yang terdapat banyak pepohonan pelindung, biasanya sedikit lebih hutan. Di Watuwawer tumbuhan ini hanya hidup di Nubawoloi (daerah masih hutan, dan keramat) serta di Nuba. Pohon ini agak unik, batangnya kecil, rantingnya kecil dan sulit mengeluarkan daun hijau sekalipun pada musin Hujan.
Namun aneh bin ajaib, ketika pada bulan Juni-Juli dilakukan Tule Ahar maka tumbuhan ini pada saatnya akan mengeluarkan daun yang segar, berwarna sangat hijau. Biasanya hanya beberapa daun dan tidak boleh berlubang-lubang seperti dimakan belalang atau binatang sejenisnya.
Daun ini memberi makna/tanda kepada orang yang datang untuk memetiknya. Apabila daunnya tidak berlubang, menandakan bahwa peserta Tule Ahar, mengikuti semua patangan dengan baik dan benar. Kalau daun Hemelung berlubang maka itu artinya diantara peserta Tule Ahar ada yang melanggar pantangan. Dan karena itu penghibur akan memaki-maki semua peserta, agar daun yang berlubang itu bisa bulat kembali. Kalau demikian adanya maka daun hemelung itu pasti berlubang. Namun setelah penghibur memaki-maki semua peserta, dan akan kembali ke pohon hemelung yang tadi daunnya berlubang, disana didapati daun itu sudah bulat dengan sendrinya. Proses pembulatan daun itu memang tidak bisa dijelaskan secara biologis. Hanya bisa dimengerti bahwa daun yang berlubang itu kemudian menjadi bulat dalam sekejap atas bantuan leluhur. Disinilah letak campur tangan leluhur dan Lera Wulan Tana Ekan atas restu yang diberikan kepada semua manusia yang meyakini kebesaran Tuhan melalui leluhur/nenek moyang. Inilah rahasia Ahar untuk kita semua. Sama seperti kita meyakini rahasia Allah dalam Roti dan Anggur.
Daun ini akan dihaluskan dan dicampur dengan air dan ramuan lain, kemudian dimandikan kepada bayi laki-laki atau perempuan sebagai tanda bahwa anak laki-laki dan perempuan itu telah dipermandikan dan disucikan dengan air tersebut untuk menjadi anak suku. Setiap keluarga harus membawa anaknya yang pertama/sulung ke kampung Watuwawer untuk mengikuti proses Tule Ahar. Fungsi dari daun ini adalah untuk membersihkan semua kotoran baik anak itu sendiri dan kedua orang tuanya, tetapi juga mensucikan anak dan keluarga muda tersebut sebagai keluarga pewaris suku Lejap Nujan.
Namun demikian sebagai peserta Tule Ahar harus mengikuti pantangan yang disyaratkan dalam proses ritual Ahar. Tidak ada pengecualian dalam pantangan tersebut. Peserta Tule Ahar yang tidak pantang dianggap melanggar hukum ritual Ahar.
8. Pegang Rumah Adat/pehe Una Rajan
Pegang rumah adat hanya bisa satu orang dalam satu keturunan, walaupun terdapat beberapa orang anak laki-laki. Biasanya yang diwariskan pertama adalah anak sulung. Dalam tradisi rumah adat Lejap Nujan pemegang Rumah Adat tercatat dalam sejarah adalah keturunan Kia Liman. Kia Liman adalah keturunan Demo Raman. Demo Raman melahirkan Uran, Kia Liman dan Hareaman. Uran melahirkan Prahong, dan Prahong melahirkan Labalanang, Kob Prahong, Demo Liko dan Uran Prahong. Sedangkan Kia Liman melahirkan Bala. Bala pun tidak ada keturunn. Hareaman mati dibunuh oleh Kia Liman.
Ddalam perjalanannya Kia Liman mengalami kepunahan sehingga kemudian diturunkan kepada Prahong yang selanjutnya diwariskan kepada Labalanang. Setelah Labalanang meninggal diserahkan kepada Kera Laba. Kera Laba pun meninggal beberapa tahun yang lalu dan akhirnya diserahkan kepada anaknya Labalanang yaitu Nikolaus. Nikolaus Dua Lejap melanjutkan warisan ini hingga sekarang. Hal yang harus diperhatikan adalah hak pemegang rumah adat dan atau penjaga rumah adat tidak bisa diserahkan kepada perempuan walaupun perempuan adalah anak sulung.
Untuk memperkuat kedudukan Una Rajan sebagai obyek Cagar Budaya dan Situs, maka Gubernur Nusa Tenggara Timur menetapkan Una Rajan sebagai obyek Cagar budaya dan Situs yang berada di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2012, denga Surat Keptusan Nomor 20/KEP/HK/2012, tengang juru pemelihara Obyek Cagar Budaya dan Situs yang berada di Wilayah Propinsi NusaTenggara Timur tahun anggaran 2012, sekaligus juru pemeliharanya Nikolaus Dua Lejap.
Jauh sebelumnya, Ketika suku Luku Lejap Nujan sampai di Kampung watuwawer, dibangunlah rumah adat semua suku termasuk rumah adat suku Lejap Nujan di tempat yang bersamaan dengan rumah adat yang lain. Lokasinya persis di depan pintu masuk Gereja Katolik St. Konrardus Watuwawer. Pada tahun 1940 atas prakarsa pater Nothermans/misionaris Belanda, sampai di Kampung Watuwawer untuk membangun Gereja Katolik. Karena itu dibutuhkan tempat untuk melaksanakan pembangunan. Lokasi yang dipilih adalah lokasi Rumah-rumah adat. Dengan sendirinya semua rumah adat harus digusur karena lokasinya dibangun gereja hingga saat ini.
Semua rumah adat harus dipindahkan termasuk rumah adat Lejap Nujan. Atas perintah Magurata/Lagadoni Lejap, maka rumah adat Lejap Nujan didirikan di atas tanah Magurata/Lagadoni hingga saat ini. Sementara untuk penjaga dan pemegang rumah adat Magurata/Lagadoni menunjuk Kia Liman untuk menjaga Rumah Adat dimaksud. Dalam perjalanannya Kia Liman membunuh adiknya Hareaman. Ketika anaknya Kia Liman yaitu Bala sakit keras, maka datanglah Nogo Gunu (istrinya MagurataLagadoni) dan Kewawenu Mamanya Magurata/Lagadoni) membuat seremoni adat untuk menyembuhkan Bala. Tiba-tiba Kia Liman lompat dan menginjak Wit Kingan dan akhirnya Bala meninggal dunia. Selanjutnya Pemegang rumah adat diwariskan kepada Prahong. Prahong meninggal dunia dan diteruskan kepada keturunan Labalanang yaitu Kera Laba dan seterusnya kepada Nikolaus Dua Lejap hingga saat ini.
Seiring dengan perubahan waktu harus disadari bahwa lokasi Rumah Adat Lejap Nujan yang ditempati sampai dengan saat ini berada diatas tanah hak milik Magurata/Lagadoni. Oleh karena itu jika ada yang mengklaim bahwa tanah warisan Lagadoni menjadi hak suku itu sebuah kesalahan fatal.
Yang kedua pemegang rumah adat. Jabatan Pemegang rumah adat hanya oleh keturunan Labalanang. Sampai keturunannya selesai atau punah. Selama keturunannya belum punah selama itu pula jabatan pemegang rumh adat tetap kepadanya. Kalau ada yang kemudian mulai berkeinginan untuk mengambil alih tanpa alasan yang jelas, maka itu artinya selain dia melanggar konstitusi adat tetapi keturunannyapun diyakini pasti akan punah.
9. Pemugaran/ Helok Duhur
Tidak ada fisik bangunan yang kekal atau abadi. Setiap kali selalu dilakukan pemugaran rumah adat Lejap Nujan. Pemugaran dilakukan dengan tidak merubah bentuk aslinya. Bahan yang digunakan juga harus dipilih sesuai dengan bahan yang dipakai untuk memugar rumah adat dimaksud. Daun kelapa, keragang, Ijuk, bambu, tikar dan semua keperluan untuk pemugaran disiapkan secara alamiah. Tidak ada paku atau semen atau besi yang dipakai, semua bahannya mengikuti bahan apa yang sudah rusak atau lapuk tersebut. Belum pernah dilakukan pemugaran total dengan cara membongkar seluruh bangunan dan mengganti dengan bahan bangunan yang baru. Hanya bagian-bagian tertentu saja yang boleh diganti.
Pada hari Senin tanggal 02 Juli 2012 jam 08.00 pagi waktu setempat semua masyarakat suku Lejap Nujan datang ke lokasi rumah adat untuk memulai kegiatan pembuatan tanggul penahan banjir. Sebelumnya hari Senin 01 Juli 2012 dilakukan ritual adat pembuka untuk meminta restu dan memberi makan kepada leluhur pada jam 17.00 di depan pintu rumah adat.
Ritual adat itu dipimpin oleh Bapak Lil Tela Lejap sebagai sesepu yang diminta oleh pihak Lejap Nujan. Seharusnya tidak perlu meminta Bapak Lil Tela Lejap tetapi karena Nikolaus Lejap belum mempunyai kemampuan untuk memimpin upacara seremoni. Hal yang menakutkan adalah apabila generasi penerus pemegang rumah adat tidak memimiliki kemampuan untuk menguasai ritual adat maka ritual kita akan punah. Karena orang yang diminta akan menggunakan ritual versi suku mereka, sementara asli suku Lejap Nujan hilang, walaupun banyak kesamaannya.
BAGIAN KETUJUH
PERJALANAN SUKU LEJAP
1. Meletusnya Gunung Krakatau
Suku Lejap adalah bangsa Nomaden. Hidupnya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu pulau ke pulau yang lain. Kepindahan mereka mengikuti perubahan alam. Apalagi kalau perubahan yang terjadi adalah bencana alam, misalnya gempa bumi. “Gempa bumi dan Tsunami yang mematikan yang dialami bangsa Indonesia hanyalah episode mutakhir dalam seluruh rangkaian panjang dalam masa sejarah dan prasejarah, seperti yang tampak dalam catatan geologis wilayah ini “ (Santos :2010;20).
Pergerakan bencana maha dahsyat ini mengakibatkan bergeraknya air laut untuk mengisi tempat yang rendah, dan hanya menyisahkan daratan yang tinggi, telah membunuh ribuan manusia tanpa ampun. Akibat bencana alampun manusia akhirnya berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk memulai sebuah kehidupan yang baru. Pergerakan manusia akibat bencana alam yang tidak bersahabat, bisa berakibat fatal pada kepunahan manusia, tetapi juga membawa manusia mencari tempat yang baru dan aman, sebagai tempat tinggal.
Ketika terjadi zaman Pleistosen (Santos; 2010) yang mengakibatkan berakhirnya zaman es, alam begitu kejam terhadap kehidupan manusia. Santos menulis bahwa “seluruh wilayah ini rentan terhadap gempa bumi yang hebat, dan letusan gunung api yang dahsyat yang kerap mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang parah”. Manusia, hewan, dan tumbuhan punah tak berbekas diatas muka bumi. Yang hidup hanyalah mereka yang tahan atas kekejaman alam. Saat itu di Indonesia terjadi bencana maha dahsyat. Bencana itu terjadi akibat letusan gunung Krakatau di selat Sunda yang kemudian memisahkan pulau Jawa dan Sumatera.
Ketika itu terjadi eksodus manusia untuk mencari tempat tinggal yang lebih aman. “Ledakan Krakatau, si gunung berapi super, juga mengakibatkan tsunami raksasa yang menyapu dan mnenenggelamkan dataran-dataran rendah Atlantis secara permanen dan menyebabkan mereka menghilang dibawa air.”(Santos:2010;66). Ledakkan gunung Krakatau mengakibatkan tsunami setinggi satu Mil dahsyatnya, yang pada akhirnya memutuskan pulau Jawa dan Sumatera dengan selat Sunda tetapi juga menenggelamkan Atlantis.
Suku Lejap sebagai salah satu etnis juga mengalami difusi hal yang sama persis bersamaan dengan sekian suku yang lain dalam budaya Lamaholot. Dituturkan secara lisan oleh anak Keturunan Suku Lejap Bernardus Boli Lejap, bahwa suku Lejap sebenarnya berasal dari Betawi/Batavia. Ketika terjadi bencana alam maha dahsyat di dunia yaitu mencairnya Es di Kutub (diperkuat oleh Penuturan Leo Boli Lajar) akibat dari meletusnya gunung Krakatau yang mengakibatkan guncangan hebat dan menyebabkan air laut menggenangi permukaan bumi dan dengan sendirinya banyak dataran rendah tergenang oleh air laut.
Melalui leluhur Pen Tobe Laga Wujo, Pen Beto Ema Ingi dan Hire Kalang Lawe Laga, ketika itu suku Lejap mulai keluar dari Batavia menuju Jawa Timur dan menetap di Wonokromo. Di Wonokromo juga terdapat suku Lejap yang keturunannya menetap sampai dengan sekarang ini. Separuhnya lagi melakukan perjalanan dari Jawa Timur (Wonokromo) menuju tempat yang lain dan kemudian mendarat di Ende. Mereka menetap di Ende. Pada saat perjalannya mereka menúju Ende mereka membawa seekor Gajah namun Gajah tersebut mati di Ende.
Dari Ende mereka melakukan perjalanan lagi dan sampailah mereka di Krokopuken/Tuak Wutu Awololong (nama saat ini). Bukti sejarah menunjukkan masih terdapat Tiang rumah di Krokopuken di dalam dasar laut sampai dengan saat ini. Di Krokopuken suku Lejap bergabung dengan suku lain yang sudah lebih dahulu menetap di sana. Semua suku dalam budaya Lamaholot termasuk suku Lejap berbaur dan menetap di Krokopuken/Tuak Wutu Awolong. Air Laut tetap menggenangi tempat tinggal mereka.
Maka kemudian semua suku mengembara lagi. Pengembaraan mereka berlanjut sampai di Namawekak. Pada saat mereka berada di Namawekak terdapat tiga keputusan besar yang diambil oleh nenek moyang pada waktu dalam pelariannya yaitu (1) mmenggunakan kata “LAMA” dalam penamaan semua suku. Keputusan semua Kepala Suku untuk menggunakan kata “LAMA” dalam setiap suku merupakan keputusan untuk menyatukan semua suku dalam asal usul yang sama. Keputusan inilah yang kemudian dipakai oleh semua suku yang berada dalam peradaban Lamaholot. Suku yang tidak menggunakan kata “LAMA” dalam penamaan suku mereka jelas bukan etnis Lamaholot. Contohnya suku “NUBAN” yang berdomosili di Atawolo, Kecamatan Atadei jelas bukan etnis Lamaholot. Mereka adalah pendatang suku Amanuban dari Timor, walaupun mereka sudah sekian lama nenetap di Atawolo-Lembata.
(2) Hal menarik yang berikut adalah penggunaan kata “LAMA” untuk beberapa Kampung atau Desa tempat suku – suku ini menetap. Banyak sekali tempat di Lembata yang kemudian menggunaan kata “LAMA” sebagai penamaan tempat tinggal mereka. Misalnya LAMAnunang, LAMAnabi, LAMAtuka, LAMAhekur, LAMAtou, LAMAhala, LAMAtewelu, dan lain-lain.
(3) Tandak sebagai Pesta Rakyat
Ketika semua suku berkumpul terakhir kalinya di Namawekak, sebelah Selatan Lewoleba, untuk merayakan perpisahan, semua suku bermain tandak semalam suntuk. Pesta rakyat yang meriah dilakukan d engan bertandak sampai pagi. Makna dari ini adalah bahwa “TANDAK” menjadi peradaban dan budaya untuk menyatukan semua suku dalam etnis Lamaholot. Hampir semua daerah Lamaholot selalu menggunakan tandak sebagai budaya yang merakyat dan ramai dimainkan oleh banyak orang. Tandak harus dimainkan oleh banyak orang, berpakain yang sama, melakukan gerakan yang sama, beratribut yang sama, bergandeng tangan bersama, berbalas pantun dalam Susana rukun.
Budaya mereka terpatri satu kesatuan etnis Lamaholot. Ada dolo-dolo, Hamang (untuk etnis Flores Timur, Solor, Adonara dan Lembata) tetapi juga ada model tandak yang sama dimainkan di Alor dan Pantar, yang kemudian dikenal dengan Lego-lego. Ketika orang bermain Lego-lego semua berpelukan tangan diatas bahu, bernyanyi, berbalas pantun dan menghentakan kaki dalam irama yang sama. Paduan syair, lagu dan tari dalam Lego-lego menjadi satu kesatuan dan membangun makna yang dalam ketika orang berlego-lego. Makna rukun, bersatu dan berdialog antar sesama dalam syair, lagu dan tari menjadikan nuansa lego-lego menjadi syarat makna.
(4). Mencari tempat menetap
Setelah semua suku bertandak semalam suntuk, keesokan harinya mereka semua memutuskan untuk mencari tempat tinggal masing-masing. Keputusan ini yang kemudian menyebarlah semua suku untuk mencari tempat menetap hingga sekarang ini. Ada yang menujuke Timur, Barat, Utara dan Selatan.
BAGIAN KEDELAPAN
AHAR SEBAGAI SEBUAH PERADABAN WATUWAWER
1. Pendahuluan
Bagsa Indonesia sebagai bangsa yang mempunyai peradaban memiliki berbagai aneka kebudayaan. Berbagai kebudayaan tersebut tersebar di seantero jagad Idonesia mulai dari sabang sampai Marauke. Banyak kebudayaan tersebut menggambarkan bahwa bangsa Indonesia sangat kaya akan ragam kebudayaan tersebut.
Aneka kebudayaan tersebut tetap digali dan dikembangkan sesuai dengan hakekat kebudayaan itu sendiri. Walaupun banyaknya kebudayaan tersebut tersebar di seluruh Indonesia, namun nilai nilai kebudayan memiliki keunikan tersendiri. Uniknya kebudayaan itu mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia.
Dari sekian banyaknya kebudayaan di Indonesia sudah banyak yang digali dan dikembangkan untuk menjadi aset pariwisata yang sangat mahal. Dari budaya tersebut bangsa Indonesia bukan hanya dikenal di luar negeri saja, tetapi juga budaya dapat mendatangkan banyak keuntungan bagi bangsa, terutama dalam bidang pariwisata. Tinggal saja bagaimana kita mampu mengolah dan memanfatkan kekayaan budaya – budaya tersebut.
Harus diakui bahwa kebudayaan – kebudayaan tersebut banyak yang sudah digali, namun banyak juga yang masih terpendam. Kebudayaan yang sudah digali tersebut berasal dari berbagai daerah dan juga telah banyak yang berhasil dikomersialkan baik ke daerah lain maupun dunia international. Namun berbagai kebudayaan yang masih terpendam tersebut harus digali dan dikembangkan menjadi aset, untuk kemajuan bangsa ini. Seperti halnya Ahar yang menjadi kebudayaan orang Watuwawer. Orang Watuwawer dan desa-desa sekitarnya (Lewogroma dan Lewokoba) memiliki salah satu kebudayaan yaitu Ahar sudah sejak lama. Sejauh ini belum ada penelitian atau upaya semacamnya untuk menggali budaya ini sebagai salah satu kebudayaan daerah yang memiliki keunikan tersendiri di samping nilai pariwisata.
Ahar adalah sejenis budaya yang menggambarkan nuansa dimana mayarakat pada desa Watuwawer, Lewokoba dan Lewogroma, meyakini bahwa anak pertama dari satu keluarga ketika dilahirkan entah perempuan atau laki – laki harus di bawa kekampung Watuwawer untuk memasuki rumah adat (Tule Ahar). Proses inilah yang disebut Tule Ahar. Jika proses ini tidak dilakukan maka harus ada cara lain yaitu air Tule Ahar , dikirim kepada keluarga yang bersangkutan untuk dimandikan kepada ibu dan anaknya di perantauan. Hal ini dilakukan untuk menghindari resiko adat yang diyakini akan terjadi pada suatu saat tertentu.
Sebagai orang Watuwawer, untuk bisa Tule Ahar, didahului dengan berbagai pantangan mulai dari hamil sampai melahirkan. Ibu muda yang sedang hamil anak pertama harus pantang sampai melahirkan dan setelah melahirkan, anak dan mamamnya dibawa ke kampung Watuwawer untuk mengikuti proses Tule Ahar. Pantangan tersebut beraneka ragam, mulai dari makanan, minuman dan bahkan cara berapkaian dan cara duduk juga diatur dalam Ahar di Watuwawer, Lewogroma dan Lewokoba.
2. Ahar Dalam Pandangan Sosilogis
Para sosiolog mendefinisikan kebudayaan dalam pandangan Sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari interaksi sosial antar manusia dalam masyaralat, mendefinisikan kebudayaan sebagai berikut :
1) Keseluruhan (total) atau pengorganisasian way of life termasuk nilai-nilai, norma-norma, institusi, dan artifak yang dialihkan dari satu generasi kepada generasi berikutnya melalui proses belajar (Dictionary of Modern Sociology). Definisi ini menggambarkan kepada kita bagaimana seluruh kehidupan masyarakat yang terpola melalui nilai-nilai, norma-norma, institusi dan artifak dalam kehidupan masyarakat harus diwariskan kepada setiap generasi sebagai sebuah warisan budaya dalam kehidupan masyarakat. Warisan budaya tersebut dilakukan melalui pendidikan, karena diyakini bahwa hanya pendidikan sajalah warisan itu akan tetap eksis dalam kehidupan masyarakat.
Disisi lain Francis Merill mengatakan bahwa kebudayaan adalah ”Pola-pola perilaku yang dihasilkan oleh interaksi sosial.” Semua perilaku dan semua produk yang dihasilkan oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai anggota suatu masyarakat yang di temukan melalui interaksi simbolis. Definisi diatas mengajarkan kita bahwa menusia memiliki perilaku untuk berinteraksi dengan manusia yang lain, dan karena itu semua produk budaya tersebut dihasilkan oleh anggota masyarakat sebagai suatu bentuk interaksi dengan sesama yang lain.
Sementara menurut Bounded et.al (1989), ”kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk oleh pengembangan dan transmisi dari kepercayaan manusia melalui simbol-simbol tertentu, misalnya symbol bahasa sebagai rangkaian simbol yang digunakan untuk mengalihkan keyakinan budaya di antara para anggota suatu masyarakat.” Pesan-pesan tentang kebudayaan yang diharapkan dapat ditemukan di dalam media, pemerintahan, institusi agama, sistem pendidikan dan semacam itu. Bounded menegaskan bahwa kebudayaan hanya bisa terbentuk melalui simbol-simbol tertentu seperti bahasa yang dapat digunakan untuk menyampaikan berbagai jenis kebudayaan tersebut kepada masyarakat. Tanpa bahasa kebudayaan tidak bisa disampaikan kepada orang lain.
Senada dengan pendapat Bounded dan Meriil, Mitchell (ed) dalam Dictionary of Sosilology mengemukakan, ”kebudayaan adalah sebagian dari perulangan keseluruhan tindakan atau aktivitas manusia (dan produk yang dihasilkan manusia) yang telah memasyarakat secara sosial dan bukan sekedar dialihkan secara genetikal.” Mitchel menegaskan kepada kita bahwa kebudayaan merupakan bentuk perulangann dari berbagai akivitas masyarakat, secara turun temurun karena ada didukung oleh unsur genetikal. Tanpa unsur genetikal masyarakat tidak bisa menururunkan kebudayaan kepada generasi yang akan datang. Karena itu Ahar adalah genetikal budaya orang Watuwawer yang diwariskan melalui syair secara oral dari generasi-generasi.
2. Ahar sebagai Kebudayaan Lokal
Mengacu pada berbagai definisi para ahli sosiologi tersebut diatas, maka sebenarnya perkembangan kebudayaan lokal juga tidak bisa terlepas dari berbagai definisi tersebut diatas. Perkembangan kebudayaan bisa eksis hanya dilakukan secara genetikal atau melalui simbol-simbol. Ahar dalam konsteks budaya lokal juga mengalami perubahan secara genetikal dan simbol-simbol. Ahar memiliki simbol-simbol untuk melakukan hubungan vertikal dengan Lera Wulan Tana Ekan, dan simbol-simbol horisontal untuk berinterkasi dengan sesama dan leluhur.
Keterkaitan itu terlihat dari bagaimana masyarakat Watuwawer memaknai Ahar sebagai kebudayaan lokal dengan menggunakan simbol-simbol dan genetika, sebagai sarana untuk menyatakan eksistensi diri untuk membangun relasi dengnn leluhur, dalam berbagai sisi kehidupan. Kehidupan masyarakat lokal sebenarnya sangat dipengaruhi oleh banyak hal dengan menggunakan simbol dan genetika. Ini yang harus dilestarikan.
Bahwa kemudian begitu derasnya pengaruh kebudayaan asing yang berdampak pada akan tergusurnya budaya lokal kita, memang harus diterima sebagai sebuah tantangan, yang pada suatu saat nanti bisa menghilangkan nilai-nilai budaya lokal termasuk Ahar. Hal ini tidak boleh tetapi, tetapi bagaimana kita berupaya dengan sekuat tenaga untuk mempertahankan Ahar sebagai budaya lokal kita, sehingga tidak terkikis oleh zaman dan budaya asing. Ahar diyakini memiliki simbol dan genetika dalam bentuk unsur – unsur pemersatu dalam kehidupann budaya masyarakat Watuwawer.
Masyarakat di desa Watuwawer dalam kesehariannya memilki Ahar sebagai bentuk eksistensi diri. Mereka umumnya memiliki simbol-simbol dan genetika antara lain Ahar, dolo-dolo, oreng, kolewalan, dan holobeba, Tule Hele, lego-lego. Berbagai jenis simbol lokal tersebut masing-masing memiliki corak nilai dan ragam gerak yang berbeda.
Ahar dalam konsep ini memiliki ciri gerakan dan tata upacara tersendiri dibandingkan dengan dolo-dolo, oreng dan kolewalan serta holobeba. Ahar dalam tata upacara adat dilakukan oleh masyarakat di desa tersebut pada saat tertentu. Waktunya harus disepkati oleh berbagai kepala suku dalam desa watuwawer, Lewogroma dan Lewokoba. Uniknya dalam setahun hanya dilakukan upacara Ahar sekali dan harus dipersiapkan secara matang.
Syarat untuk mengikuti upacara Ahar ialah ada beberapa keluarga muda yang baru memiliki satu orang anak entah laki-laki atau perempuan. Bayi ini yang akan menjadi subyek dan obyek dilakukan upacara Ahar. Tanpa anak laki-laki atau perempuan yang pertama, belum boleh mengikuti upacara Ahar.
Ahar masih menjadi kebudayaan yang orisinil. Belum ada sentuhan modern. Dan memang sebetulnya tidak boleh ada sentuhan modern karena akan mengurangi nilai-nilai luhur dari Ahar itu sendiri. Kebudayaan Ahar ini belum juga dipasarkan sebagai aset pariwisata, karena belum ada upaya – upaya yang dilakukan untuk menjadikannya sebagai aset budaya pariwisata.
3. Penutup
Secara umum berbagai definisi dari berbagai ahli diatas menunjukan begitu besar peran sosiologi terhadap kehidupan masyarakat. Nila-nilai budaya dalam kehidupan masyarakat menjadi sangat penting untuk membangun pola kehidupan masyarakat secara sosialogis. Peran budaya dalam kehidupan masyarakat sangat dipengaruhi oleh sosiologi sebagail ilmu yang mempelajari kehidupan masyarakat.
BAGIAN KESEMBILAN
AHAR : FIRDAUS BARU ORANG WATUWAWER
Oleh : Belamun Fr. Radja Ledjap, HHK
1. Fungsi Ahar
Saya mengawali sebuah kajian singkat ini dengan mengutip tulisan pada blog unarajan. Ahar adalah upacara inisiasi adat yang diselenggarakan di desa Watuwawer. Upacara ini merupakan ritual adat yang diwajibkan secara turun temurun bagi setiap anak sulung. Adalah menjadi keharusan bagi setiap keluarga baru yang telah melahirkan anak pertama agar menghantar anak tersebut ke rumah adat guna dimandikan (Temu Wei Aheren).
Seorang wanita sejak resmi menjadi pasangan hidup seorang pria dari desa Watuwawer (Ahar tu), otomatis diikat oleh aturan adat (uhur ahar) ini dan harus patuh di bawah pantangan-pantangan adat, yakni pantang terhadap jenis makanan tertentu dan patuh pada tatakrama tertentu. Pelanggaran terhadap pantangan dan aturan tatakrama akan berakibat keluarga tidak sehat, khususnya ibu dan anak akan mudah terserang penyakit, dapat menderita penyakit kulit tertentu, rambut gugur dan gangguan kesehatan yang lain.
Fungsi Upacara Ahar antra lain (a) Fungsi Inisiasi: (Upacara meresmikan seseorang untuk menjadi anggota perkumpulan, suku dll, KUBI; hal 534), anak dan mamanya diterima sebagai warga suku. (b) Fungsi Penyembuhan: bagi ibu dan anak yang kurang sehat atau menderita penyakit karena melanggar aturan ahar dan tata krama akan memperoleh kesembuhan. (c) Fungsi Syukur: upacara ini merupakan wujud ungkapan syukur keluarga baru atas penyelenggaraan Sang Khalik – Lera Wulan Tana Ekan melalui para leluhur. (d) Fungsi Persatuan: dengan menggelar upacara ini tercipta kebersamaan antara warga masyarakat. (e) Fungsi Cinta Kampung Halaman: keluarga yang merantau atau bekerja di luar daerah terpanggil pulang ke kampung guna menyelenggarakan upacara ini.
2. Ahar : Sebuah Konsepsi Kultis
Kutipan di atas membuka cakrawala kesadaran dan pengetahuan kita akan urgennya sebuah ritual adat yang merupakan “pusaka” warisan leluhur yang tetap hidup hingga saat ini yang disebut pemiliknya, orang Watuwawer dengan nama ahar.
Ahar hadir dan ada serta secara tegas menuturkan bahwa “ia’ adalah sebuah warisan leluhur yang mengandung nilai-nilai sebagai keadaban dalam mengatur hidup dan kehidupan. Dari titik ini saya meyakini untuk berani mengatakan bahwa ahar adalah sebuah konsepsi kultis pengembangan nilai-nilai hidup dalam budaya lokal (orang Watuwawer) melalui pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan yang seimbang, serasi dan selaras dalam seluruh aspek kehidupan secara utuh dan terpadu bagi masyarakat adatnya berlandaskan pada norma-norma adat itu sendiri sesuai dengan fungsi dan cita-cita ahar itu sendiri.
Ahar sebagai sebuah konsep kultural merupakan pengetahuan, tatacara kita (orang Watuwawer) yang menjadi cermin bagi massa depan dalam menata hidup sebagai sebuah konfigurasi tingkah laku dan hasil laku yang unsur-unsur pembentuknya dipelihara, didukung, diwariskan turun temurun sejak leluhur kita ada hingga kita sekarang ini.
Ahar sebagai sebuah konsep kultur merupakan keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, moral, kepercayaan, seni, hukum, dan utamanya adalah adat yang kita miliki. Milik kita ini adalah sebagai sebuah produk dalam himpunan ide, sikap, kebiasaan dan sebagai aturan yang disusun oleh leluhur untuk menolong diri mereka dan keturunannya kelak (kita sekarang ini) dalam tingkah laku dan hidup harian.
Ahar sebagai sebuah konsep kultur adalah model hidup yang di dalamnya kita dapat menyesuaikan diri kepada lingkungan fisik, sosial, dan ideasional, yang menjadi norma menurut mana seorang berada untuk berinteraksi dengan lingkungan dan sahabat serta leluhur di sekitarnya.
3. Ahar Sebagai Kekayaan Iman dan Kebudayaan Orang Watuwawer
Konsili Vatikan II (KV-II) mengungkapkan dengan lugas bahwa Gereja menyatakan kesadarannya untuk memperbaharui diri dalam peranan dan hubungannya dengan dunia dewasa ini. Salah satu tanda pembaharuan diri Gereja antara lain tampak dalam pernyataan mengenai interaksi antara agama dan budaya yang tampak dalam dokumen Gaudeum et Spes ini:
“Pada umumnya dengan istilah “kebudayaan” dimaksudkan segala sarana dan upaya manusia untuk menyempurnakan dan mengembangkan pelbagai bakat pembawaan jiwa-raganya. Ia berusaha menguasai alam semesta dengan pengetahuan maupun jerih payahnya. Ia menjadikan kehidupan sosial, dalam keluarga maupun dalam masyarakat, lebih manusiawi melalui tata susila dan lembaga-lembaga. Akhirnya di sepanjang masa ia mengungkapkan, menyalurkan dan melestarikan pengalaman-pengalaman rohani serta aspirasinya yang besar melalui karya-karyanya, supaya berfaedah bagi banyak orang, bahkan segenap umat manusia………………………Begitulah tata cara yan diwariskan muncullah pusaka nilai-nilai yang khas bagi setiap masyarakat manusia. Begitu pula terwujudlah lingkungan hidup tertentu dengan coraknya sendiri, yang menampung manusia dari zaman manapun dan yang menjadi sumber nilai-nilai untuk mengembangkan kebudayaan manusia serta masyarakat”(GS 53).
Dalam gambaran tentang apa yang disebut kebudayaan tampak suatu kenyataan bahwa manusia yang menciptakan kebudayaan bagi dirinya sendiri dan bagi serta dalam masyarakat. Dalam makna di atas, sekali lagi Ahar hadir dan ada sebagai sebuah sarana dan wahana aspirasi warisan pusaka agung yang kaya akan nilai-nilai yang khas sebagai humaniora dan penyempurna hidup. Maka semakin jelas, menurut hemat saya, Ahar merupakan “cara” leluhur mengkomunikasikan atau mendialogkan nilai-nilai iman akan Allah (Lera Wulan Tana Ekan) secara kontekstual dari zaman ke zaman melalui fungsi-fungsinya.
Demikianlah bahwa misteri Kerajaan Allah akan tersingkap ketika orang masuk dan tinggal di dalamnya. Iman kita mengenal sakramen dan dalam hal ini adalah sakramen inisiasi. Dalam bahasa Ahar disebut Temu Wei Aheren (dimandikan/dibabtis secara adat) memiliki dimensi yang sama dengan ajaran iman yang berarti disucikan/dibersihkan agar ia diperkenankan masuk dalam persekutuan. Relevensinya adalah Kitab Suci Perjanjian Lama tradisi bangsa Yahudi yang menggunakan air sebagai lambang penyucian diri seperti bertamu ke rumah orang harus terlebih dahulu membasu kaki dan tangan sebelum masuk ke dalam rumah, dan masih banyak kisah yang lain.
Perjanjian Baru juga demikian menggunakan air sebagai sarana penyucian diri. Tengoklah kisah pembabtisan Yesus oleh Yohanes di Sungai Yordan (Mat 3:1-17). Melalui pembabtisan, Yesus diterima oleh Bapa yang memperkenankan diriNya untuk mewartakan Kerajaan Allah, BapaNya.
Inisiasi Ahar memiliki makna yang demikian di mana seseorang diterima masuk dalam persekutuan (suku) dan menjadi bagian dalam persekutuan itu. Kitab Suci membahasakannya dengan “masuk dalam persekutuan anak-anak Allah”. Masuk dalam persekutuan berarti masuk di dalam misteri yang imanen untuk mengerti kehendak Allah menjadikan manusia lebih manuasiawi dalam berelasi, bertutur kata, bertingkah laku, dan mengatur pola hidup yang selalu bersyukur kepada Sang Pemberi kehidupan, Lera Wulan Tana Ekan yang transenden namun terasa dekat untuk disapa, dirasakan, melalui para leluhur.
Seperti halnya Kristus yang datang untuk menyelamatkan, mewartakan kabar gembira dari Allah, menyatukan yang tercerai berai, menyembuhkan yang sakit, membuat kusta menjadi tahir, hingga menjadikan hukum cinta kasih menjadi menang. Demikian halnya Ahar sebagai pemersatu anak-anak suku yang tercerai berai di mana-mana, untuk datang dan bersatu di bawah sebuah atap dan satu dalam kata yakni tule ahar untuk menikmati kebersamaan, sukacita dan syukur karena diselamatkan.
Dalam makna ini Tule Ahar berarti masuk dan menerima Lera Wulan Tana Ekan yang mewahyukan dirinya dalam diri Kristus yang rela menjadi manusia untuk dapat disentuh, digapai, dan yang senasib dengan manusia. Inilah Ahar sebagai sebuah kearifan lokal yang memperkaya budaya sekaligus memperteguh iman orang-orang Watuwawer akan Leluhur para Leluhur, Lera Wulan Tana Ekan.
4. Ahar: Firdaus Baru Orang Watuwawer yang Mengimani Allah
Ahar dihayati orang Watuwawer dalam relasi horisontal antar sesama manusia dan relasi vertikal dengan Allah, Lera Wulan Tana Ekan. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa dimensi horisontal Ahar tidak terpisahkan dari dimensi vertikal iman karena Ahar merupakan tatacara dan kewajiban manusia yang dengan manusia memperoleh tugas supaya atas nama Lera Wulan Tana Ekan mengolah, mengusahakan, dan melestarikan bumi ciptaan dan segala isinya demi kesejahteraan hidup bersama. Kitab Kejadian 1:25, dan 2:15
memaktubkan bahwa manusia sesuai dengan martabatnya, ditempatkan dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. Itulah tugas manusia di bumi yang dimulai di Firdaus, Taman Eden, sebagai awal kehidupan dan yang akan berakhir dengan mulia di Yerusalem Baru ( Ibr 12:22, Why 2:1-22:5).
Demikianlah semakin jelas bahwa Ahar adalah awal dari kehidupan, sebagai “Firdaus Baru” bagi orang Watuwawer dalam menata, memandang, dan menyusuri dinamika kehidupan dengan segala corak dimensinya untuk menjadi manusia bermoral, bermartabat, beradat dan beradab.
Sesuai dengan fungsi dan cita-citanya yang bermartabat, Ahar tidak terpisahkan dari iman alkitabiah sehingga orientasinya tertuju pada kemuliaan Allah, Lera Wulan Tana Ekan, dan kesejahteraan hidup umat manusia karena Ahar merupakan transformasi keadaban hidup yang diberikan oleh Lera Wulan Tana Ekan kepada umatnya untuk dihidupi dan dipertanggungjawabkan.
Oleh karena itu Ahar tidak lain adalah restorasi iman orang Watuwawer yang konkret dan dengan Ahar pula menunjukkan bahwa para leluhur orang Watuwawer telah mengajarkan “cara” berteologi yang kontekstual dalam ranah pengudusan dan keselamatan jiwa raga. Melalui “cara” berteologi ini, peristiwa kedatangan Lera Wulan Tana Ekan di dunia yang mencakup kelahiran, kehidupan, ajaran, perbuatan, penderitaan yang berpuncak pada kayu salib dan dimahkotai dengan kebangkitan dan kenaikan Yesus Kristus adalah penciptaaan kembali manusia di dunia ini dengan segala budaya dan keberadaannya. Dan, Ahar telah mengambil peran penting dalam ajaran ini yang menerima, menyatukan dan menguduskan anak-anaknya untuk selalu berada dalam persekutuan yang hidupnya baik, persekutuan yang selalu bersyukur akan rahmat kehidupan yang telah diterimanya.
5. Penutup
Menjalankan dan menghidupkan Ahar berarti mempererat jalinan relasi baik dengan sesama (horisontal) maupun dengan Lera Wulan Tana Ekan ( vertikal). Artinya dengan Ahar iman akan Lera Wulan Tana Ekan semakin di perteguh karena keduanya merupakan sebuah benang merah yang mengikat satu tujuan. Dengan Ahar pula Allah mentrasformasikan dirinya sehingga Ia tidak lagi menjadi transenden namun dapat dijumpai, dirasakan, dan akrab dengan manusia hasil kreasiNya. Oleh karena itu meremehkan Ahar apalagi menghilangkannya, sama saja dengan mengkhianati kemartabatan para leluhur yang berarti pula mengingkari iman kita akan Allah, Leluhur para Leluhur.
Maka marilah kita senantiasa melestarikan warisan budaya leluhur ini yang sungguh kaya akan nilai-nilai hidup yang tidak dimiliki oleh orang lain. Saya sungguh bahagia dan bangga memiliki adat seperti ini. Semoga para leluhur dan Lera Wulan Tana Ekan selalu pada pihak kita yang berkehendak baik. Terima kasih.
Yogyakarta, 29-19-2012
Pada Pesta Para Malaikat Agung
BAGIAN KESEPULUH
TULE AHAR
Ahar adalah upacara inisiasi adat yang diselenggarakan di desa Watuwawer. Upacara ini merupakan ritual adat yang diwajibkan secara turun temurun bagi setiap anak sulung. Adalah menjadi keharusan bagi setiap keluarga baru yang telah melahirkan anak pertama agar menghantar anak tersebut ke rumah adat guna dimandikan (Temu Wei Aheren).
Seorang wanita sejak resmi menjadi pasangan hidup seorang pria dari desa Watuwawer (Ahar tu), otomatis diikat oleh aturan adat (uhur ahar) ini dan harus patuh di bawah pantangan-pantangan adat, yakni pantang terhadap jenis makanan tertentu dan patuh pada tata krama tertentu.
Pelanggaran terhadap pantangan dan aturan tatakrama akan berakibat keluarga tidak sehat, khususnya ibu dan anak akan mudah terserang penyakit, dapat menderita penyakit kulit tertentu, rambut gugur dan gangguan kesehatan yang lain.
1. Fungsi Upacara Ahar
1.1. Fungsi Inisiasi: anak diterima sebagai warga suku.
1.2. Fungsi Penyembuhan: bagi ibu dan anak yang kurang sehat atau menderita
1.3. penyakit karena melanggar aturan ahar dan tata krama akan memperoleh kesembuhan.
1.4. Fungsi Syukur: upacara ini merupakan wujud ungkapan syukur keluarga baru atas penyelenggaraa Sang Khalik – Lera Wulan Tana Ekan melalui para leluhur.
1.5. Fungsi Persatuan: dengan menggelar upacara ini tercipta kebersamaan antara warga masyarakat.
1.6. Fungsi Cinta Kampung Halaman: keluarga yang merantau atau bekerja di luar daerah terpanggil pulang ke kampung guna menyelenggarakan upacara ini.
2. Ritual Ahar
2.1. Ritual Tobe Tar Elor: Sebagai upacara menyampaikan kepada leluhur bahwa ibu dan anak dari keluarga terkait akan dihantar memasuki rumah adat guna menerima permandian adat. (Temu Wei Aheren)
2.2. Ritual Beraweye Gewei : Dalam upacara ini semua ibu dan anak peserta upacara masuk ke dalam rumah adat, namun hanya ‘ina beneren’ (Peserta Utama) yang tinggal selama dua hari. Keesokan malamnya ‘beroweye beneren’ peserta tambahan utama menyusul masuk dan tinggal untuk menunggu upacara keesokan harinya.
2.3 Ritual Beraweye Dopai : Ibu dan anak keluar dari rumah adat sekaligus menjalani upacara mandi adat. Ini merupakan ritual puncak yang dirayakan secara meriah.
2.4. Ritual Hemelung Ketane: Merupakan ritual penutup untuk mengakhiri keseluruhan upacara ahar di mana pada ritual penutup ini air adat akan dihabiskan dengan memandikan ibu dan anak peserta upacara dan anggota keluarga yang membutuhkan berkat atau mengharapkan penyembuhan. Setiap ritual diselenggarakan dengan selang waktu hitungan hari genap.
3. Peserta Upacara Ahar
3.1. Beneren (peserta utama): ialah ibu dan anak dari keluarga yang mengambil inisiatif untuk menyelenggarakan upacara ahar dalam musim terkait.
3.2. Beroweyen (peserta tambahan): ialah ibu dan anak yang ikut serta bergabung dengan beneren dalam upacara ahar. Beroweyen biasanya merupakan ibu-ibu dari suku yang sama atau warga desa yang ikut menjadi peserta alam upacara ahar.
3.3. Beroweye Beneren (peserta tambahan utama): Apabila ada lebih dari 3 ibu yang mengikuti upacara maka salah satu ibu menjadi ‘beroweye beneren’.
3.4. Pantangan-pantangan;
Makanan: Jenis makanan yang tidak boleh dimakan kalau belum melaksanakan upacara ahar ialah: Kacang ijo (wewe), ubi jalar (hura jawan), madu (blaner), kunyit (kumaha), semangka (timung), oyong (triabla), jamur (kepiw). Dan jenis ikan tertentu yang menurut bahasa daerah disebut teaw dan bawo.
4. Tata krama:
4.1. Tidak boleh makan sambil jalan atau berdiri
4.2. Tidak boleh menyanyi dan menari
4.3. Tidak boleh membiarkan rambut terurai bebas.
4.4. Tidak boleh mengenakan anting dan hiasan-hiasan lainnya.
4.5. Menghindari tingkah laku yang tidak baik; bertengkar, berkelahi, mencuri, dan sebagainya.
5. Ramuan Air Adat
Ramuan utama ialah Hemelung, sejenis tanaman perdu yang darinya akan diambil 7 helai daun, dicampur dengan beberapa bahan lainnya yang akan digunakan untuk memandikan anak dan ibu peserta upacara ahar. Pohon ini tumbuh di Nuba, sebuah tempat keramat di tengah kampung Watuwawer.
Pemetikan daun ini dilakukan melalui ritual “Ua Hemelung”. Ritual ini disebut demikian karena tatacara pemetikan daun dilakukan melalui suatu komunikasi antara seorang ibu dari suku yang suaminya diberi jabatan sebagai “Mi Tuak”. Apabila pada saat Ua hemelung jika terdapat semua helai daun utuh, ini merupakan pertanda bahwa para ibu peserta upacara telah mentaati aturan-aturan adat dengan baik dan benar. Sebaliknya bila terdapat helai daun yang berlubang atau keropos, pertanda para ibu telah melanggar adat.
Apabila hal ini terjadi sementara memetik pucuk yang tidak utuh merupakan tabu, maka
ibu yang bertugas memetik pucuk hemelung ini harus kembali ke rumah adat di mana sang ibu dan anak yang dipingit selama dua hari dimarahi dengan kata-kata kasar sampai pucuk daun menjadi utuh kembali baru dipetik. Pelanggaran ‘uhur –ahar’ bila cukup serius sering membuat ritual Ua Hemelung berlangsung berjam-jam.
Pucuk yang utuh setelah dipetik akan diarak beramai ramai ke rumah adat. Di sana seluruh pemangku adat (Kepitaye-kebeleye) sedang menunggu untuk melangsungkan upacara Bereweye Dopai.
6. Menarikan Anak (Hama Etiken).
Upacara inti dari Beraweye dopai ialah menarikan anak (Hama etiken). Ibu dan anak peserta upacara di bawah keluar rumah adat dengan berdandan pakaian adat dan berkumpul di depan rumah adat untuk ditarikan di atas sebuah balai-balai yang dibuat khusus untuk keperluan tersebut.
Pada saat bersamaan lagu syair diulangi dengan menyebut nama semua anak peserta upacara, sambil mereka dimandikan dengan air adat.Air adat ini tidak dikhususkan bagi anak tapi juga ibunya, ayahnya dan siapa saja yang mungkin mengharapkan kesembuhan dari suatu peyakit. Acara kemudian dilanjutkan dengan makan bersama secara adat dan ditutup dengan pagelaran tarian rakyat yaitu Kolewalan.
BAGIA KESEBELAS
LAGADONI (MAGURATA)
1. Pendahuluan
Lagadoni adalah salah satu nenek moyang suku Lejap Nujan yang memelihara semua keturunannya dengan sangat tertib. Ia lahir dari mama Kewawenu dan beristri Nogogunu, yang adalah saudari dari Raja Baha Mayeli di Lebala. Memiliki saudara dua orang yaitu Labalanang dan Meran. Lagadoni memiliki keturunan dari dua istri. Istri pertama adalah Nogogunu,yang melahirkan Arnoldus Meran Lejap, Yosep Ola Dopa Lejap, dan Yohanes Kia Lejap, dan beberapa anak perempuan, antara lain Gel Ope, Gelole Lagadoni, Letek Muga, Tnul Gemadi, Wol Tena.
Sementara Labalang, hanya melahirkan seorang anak perempuan, tidak ada anak laki-laki. Keturunannya sekarang ada di Lebala. Meran melahirkan Lagar, yang pada akhirnya keturunannya sampai pada Puan , Dewa dan Plea.
Semua anaklaki-lakinya baik dariistri pertama dan kedua dikumpulkannya dalam satu lokasi yang besar, dibuatkan rumahnya dan seluruh lokasi rumahnya dibuatkan pagar, untuk melindungi seluruh keturunannya. Ada bagian tanah untuk Meran dan keturunannya, Ola Dopa dan keturunannya dan Kia Bala dengan keturunannya,serta yang palin penting adalah lokasirumah adat hingga saat ini.
Ia memiliki sifat-sifat yang sangat ideal antara lain jujur, bijaksana, tulus, suka menolong/membantu,kaya arti dan pembela kebenaran.
2. Orang Bijaksana
Setiap suku dimanapun adanya dan bagaimanapun keadaannya, selalu menentukan orang melalui rapat dan keputusan suku bersama, untuk memilih siapa yang ditugaskan merawat, memelihara dan memegang rumah adat. Rapat itu dipimpin oleh Kepala Suku yang bersangkutan dan dihadiri oleh semua keturunan yang bernaung dibawa Una Rajan sebagai Blimut Rajan. Rapat itu dipimpin oleh Magurata/Lagadoni yang pada saat itu menebus rumah adat ketika dibongkar dengan uang dua ringgit kepada Pater Nothermans yang kemudian dibongkar dan atas persetujuannya dibangun di atas tanah miliknya hingga sat ini.
Kerelaan Magurata atau Lagar atau Lagadoni untuk membangun rumah adat (Una Rajan) diatas tanahnya harus dihargai sebagai sebuah keputusan yang bijaksana, bermartabat dan tanpa musyawarah. Magurata tidak beripikir dari berbagai aspek untuk memberikan tanahnya demi Una Rajan, tetapi didasari bahwa Una Rajan adalah Blimut Rajan. Ia tidak menjualnya. Ia merelakan tanahnya demi Una Rajan. Karena Ia menyadri betul bahwa Una Rajan untuk kelestarian pewarisnya, dan harus diberi tempat yang pantas.
Karena Ia menyadari bahwa Una Rajan adalah tempat dimana leluhur kita menetap, tempat dimana kita semua bernaung di dalamnya, tempat kita semua berteduh dari hujan dan panas, tempat kita semua berkumpul untuk berkomunikasi dengan para leluhur.
Harus diakui bahwa keturunan Magurata/Lagadoni juga sampai dengan saat ini tidak mempersoalkan tempat yang menjadi penghuni para leluhur kita. Keyakinan mereka akan satu kesatuan, kebersamaan dan keharominisan terbentuk, untuk menjaga dan melestarikan kita emua.
Kepemilikan ini juga harus mendapat aplaus dari sesama warga Una Rajan. Tidak menjadi santun kalau akhirnya kita semua menyebutnya sebagai bagian dari sesama warga Una Rajan.
3. Tulus
Kita juga jangan lengah karena Magurata telah dengan tulus memberi harta tanpa meminta imbalan dari siapapun. Tetapi jangan dengan demikian lalu tanah yang menjadi miliknya yang dulu dipagari dengan Nihar untuk menjaga Una Rajan dan para keturunannya menjadi pengingkaran kita. Tempat yang dulu dipagari dengan nihar dan yang tidak ada batas itu (tek no batas/henoan hi) adalah merupakan tempat yang diwariskan kepada anak dan keturunnnya. Ada tanah untuk Meran Lagadoni dan keturunannya, Kia Bala dan keturunannya, dan Ola Dopa dan keturunannya, Pito Lagadoni dengan keturunannya serta bagian tanah untuk Una Rajan, yang semua nya dipagari, walaupun pagar sekarang sudah tidak ada lagi sehingga semua orang sesukanya melanggar.
4. Pemimpin
Bahwa semua orang kemudian merasa cinta dan kagum dengan kepemimpinan dan kebijaksanaan serta kekayaan Magurata itu hal yang wajar. Dan kalau kemudian semua orang tunduk dan takluk kepadanya, adalah bagian dari kepemimpinannya. Bahwa kemudian mereka tetap mengenangnya karena hubungannya yang begitu luas dengan orang-orang besar lainnya di seluruh Lembata termasuk Raja Lebala, Baha Mayeli yang pada akhirnya merelakan saudarinyanya Nogogunu untuk menjadi istrinya, adalah bagian dari kebesarannya. Bahwa kemudian Magurata memiliki dua istri karena kemampuannya memanage kehidupannya, sehingga semuanya dilindunginya dalam sebuah pagar yang luas, adalah bagian dari kebijaksanaannya. Bahwa kemudian Magurata dapat menebus dosa sekian orang akibat kelakuan mereka yang bobrok adalah bagian dari kebijaksanaan dan ketulusannya terhadap sesama.
Kebijaksanaan, kebesaran dan cintanya dipersembahkan hanya untuk kita semua terutama kepada anak cucunya dan juga untuk Una rajan. Semua mereka menjadi ahli waris yang syah dari karya maha besarnya. Pesan dan nasihatnya menjadi panutan hingga saat ini. Terutama tentang kehidupan manusia. Korupsi dan menyusahkan orang lain sebagai sesama manusia adalah tabu baginya. Salah satu nasihatnya yang menjadi pegangan anak cucunya adalah sebagai berikut. “Makan yang masak, jangan makan yang mentah”.
Sehingga dengan demikian mesti diakui bahwa tempat yang merupakan kepemilikan kolegial keturunan Magurata adalah hak milik mereka termasuk Una Rajan didalamnya. Dan karena itu jika ada yang lain merasa memiliki tempat itu masih perlu dipikirkan kembali.
Magurta tetap Magurata. Ia kini terbujur kaku tinggal tulang belulang yang fana, Terkubur didalam rumah anaknya Yohanes Kia Lejap, adalah bukti kepemilikan tanah yang syah. Kita yang lain yang tidak pernah memberi dari keringat, tetapi mengambil keringat orang lain adalah sebuah pengingkaran sejati. Bahwa kita semua menghormatinya itu benar. Bahwa kita mengaku sebagai bagian darinya adalah benar. Tetapi dengan begitu maka kita semua mengaku memiliki bagian harta darinya adalah sesuatu yang tidak wajar. Apalagi kalau kita bukan bagian dari kehidupan dan keturunannya.
BAGIAN KEDUABELAS
ASAL MULA PULAU LEMBATA
Dulu Pulau Lembata bernama pulau Lomblen dan Pulau Kewula. Kedua nama ini dijuluki oleh Belanda melalui politik dagangnya yaitu VOC (Verenigde Oost Indice Companny). Pulau ini pernah difoto oleh Belanda dan sampai sekarang foto tersebut masih tersimpan di Kantor Camat Atadei, Kalikasa (salah satu kecamataan di Kabupaten Lembata). Dalam perjalanan sejarah pulau ini terus berubah nama menjadi Lembata, nama ini diberi oleh Alm. Yan Kia Poli pada saat diadakannya MUBESRATA (Musyawarah Besar Rakyat Lembata) pada tanggal 7 Maret 1976 di Lewoleba, dan kemudian diresmikan oleh mantan Gubernur Nusa Tenggara Timur El Tari.
Sebenarnya, lahirnya pulau Lembata pada tahun 1400 ketika terjadi zaman Gletzer yaitu zaman dimana mencairnya es di Kutub sehinga banyak pulau yang tenggelam dan kemudian penduduknya migran ke berbagai daerah untuk mencari tempat tinggal yang baru. Dalam penuturan sejarah dari Leo Boli Ladjar, orang Lembata sebenarnya bermigran dari Lepanbata (sebutan menurut orang Lembata) sedangkan menurut orang Alor Lapang dan Batang ( dua pulau kosong tak berpenghuni) yang terletak di bagia barat pulau Alor dan bagian timur ke utara dari pulau Lembata. Lepanbata atau Lapang dan Batang menurut orang Alor adalah dua buah pulau tak berpenghuni. Lapang artinya datar/rata seperti lapangan sedangkan Batang artinya tinggi. Kedua pulau ini memiliki kekayaan alam yang tak akan habisnya yaitu rumput laut yang kini menjadi primadona orang Alor.
Menurut Leo, ketika masyarakat ini migran karena tenggelamnya sebahagian pulau Lapang dan Batang (air laut naik), orang Lembata dalam penjelajahannya untuk mencari tempat baru sebagai tempat tinggal, mereke menemukan pulau Lomblen/Kewula atau Lembata sekarang, yang merupakan pulau yang baru muncul bersama pulau Kangge, Rusa dan Kambing, yang kini menjadi wilayan pemerintahan Kabupaten Alor. Dalam perjalanannya dari pulau Lapang dan Batang (Lepanbata) ke arah utara menelusuri laut mereka tinggal dan menetap pertama kali di Wairiang, kemudian ke arah utara dan mendiami Edang Aya Wei Laong di Ramu tempat yang terletak diantara Leo Hoeq, Atarodang dan Maramu dekat Leuwayang.
Sementara mereka yang menelusuri wilayah bagian selatan dan utara, mereka tiba pertama kali di Noni wilayah Hobamatang Leuhapu yang kini telah berganti nama menjadi Mahal I dan Mahal II. Mereka yang menetap disini kemudian mencari daerah yang lebih aman tapi subur, lalu mereka menemukan tempat yang bernama Payong Koto Manu lalu pindah ke Perung Peu Obu Hobamatang, yang kemudian menurunkan suku Odelwala, yang menetap disana sampai sekarang. Sementara mereka yang meneruskan perjalanannya menuju ke Wuyo Kape naik ke Balurebong dan menyebar ke barat dan menetap di wilayah Atakowa dengan keturunannya sampai sekarang menyandang suku Kowa Lama Botung. Mereka ini memiliki kebudayaan daerah yang cukup unik dan terkenal sampai sekarang adalah BEKU.
Dari Wuyo Kape sebahagian lagi berjalan menelusuri dan mencari wilayah yang labih aman dan subur, mereka menuju ke wilayah Bobu sebahagian ke Lamatuka kemudian menurunkan suku Lajar, Lazar dan Loyor di Ude Hadakewa. Yang lainnya mneruskan perjalannnya ke Waiteba, lalu ke Watutena, Bota Harpuka dan Paugora (Panggorang menurut orang Alor), dan sebahagian lagi menuju ke Tanjung Atadei wutun (sekarang menjadi nama Kecamatan Atadei di Kab Lembata), terus ke Lamanunang. Mereka juga menetap disini dengan memiliki kebudayaan yaitu ARE. Lalu ada yang ke Watuwawer menetap dan memiliki kebudayaan yang disebut Ahar. Budaya ini mempunyai upacara yang unik yaitu setiap bayi yang baru lahir entah laki atau perempuan wajib memasuki rumah adat yang disebut dengan upacara Tule Ahar. Disana juga menetap suku Lera Lama Dike (lejap), Koba Lama Wale (Koban dan Waleng) , Tuka Lama Roning (Tukan dan Roning), Lajar Lamabua (lajar) disamping budaya adatnya yang cukup terkenal yaitu Kolewalan.
Ada penduduk yang berjalan dan melintasi pantai Waibura dan mendiami Pedalewu di Lewalang dekat gunung Mauraja, Adowajo dan Petrus Gripe, Luhtobe dan Penutuk, lalu mereka mendaki ke Lamaheku, ada yang ke Lewokoba ( suku Hekur) lalu ada yang menuju ke Laba Lewu di Namaweka lalu pindah ke Lite yang sekarang menurunkan suku Naya Hekur, Bala hekur. Sementara yang menguasai Lamaheku adalah suku Koli Lolon, Pukai Lolon dan Lewogromang. Sementara mereka yang ke Mirek Puken adalah penduduk Kayuaman dan Atalajar (mereka ini yang keturunanya ada yang menetap di Kecamatan Pantar barat Laut/pulau Kangge) yang tinggal di leher gunung Mauraja. Daerah itu disebut dengan nma Paugora.
Sebahagian lagi berlayar dengan perahu menuju ke Mulandoro sementara yang lainnya terus ke Labala. Yang turun di Mulandoro terbagi dua yaitu ada yang menetap di Mulandoro yang kemudian menurunkan penduduk Mulan Lama Gali, sedangkan yang lain berjalan mendaki ke gunung menetap di Atawolo dengan penduduknya Atalaya Lew Nuban. Ada yang menetap di Labala tetapi ada sebahagian penduduk menuju ke Smuki dan Snaki terus ke Lewuka dan Udak. Disana ada suku Soriwutun yang sebenarnya bersaudara dengan suku Laya Lama Bua atau Atalaya Soriwutun yang keturunannya juga bersaudara dengan suku Lajar di Waiwejak (desa Nubahaeraka). Suku Atalaya Soriwutun masih bersaudara juga dengan suku Atalaya Blikololon dan Loyor yang mendiami desa Atalojo sekarang di Kecamatan Atadei.
Sementara itu pelarian yang lain meneruskan perjalanan mereka ke Nuhalela, Lamalera dan Lamabaka dan menyebar ke seluruh wilayah Lembata. Ketika tejadi peristiwa Awololon ( pulau di depan kota Lewoleba) tenggelam, maka penduduknya menyebar ke Lembata, Adonara, Solor, Nebe, pulau Babi dan pulau Palue (Maumere), Wailamung dan Bogonatar (Perbatasan Larantuka dengan Kabupaten Sikka).
Hubungan Suku-suku
Percaya atau tidak tetapi ada secuil peristiwa yang dapat disarikan dari peristiwa pelarian orang Lembata dari Lapang dan Batang. Ada sejumlah suku yang ketika migran mereka terlebih dahulu membuat perjanjian untuk mengikat tali persaduaraan mereka. Perjanjian itu adalah menggunakan kata LAMA dalam penamaan suku-suku yang di bawa oleh mereka. Maka semua suku pada waktu itu sepakat untuk menggunakan kata LAMA pada suku mereka. Dengan demikian maka semua suku migran dari Lapang dan Batang menjadikan kata lama sebagai tali pengikat hubungan kekerabatan dan juga dapat mencari saudara mereka yang lain. Ternyata ada suku di Lembata, Adonara dan Solor menggunakan kata LAMA.
Suku – suku itu antara lain Ruman Laba Bae, Likur Lama Koma, Wahen Lama Bera, Wayan Lama Holen, Lida Lama Loru, Matan Lama Mangan, Kape Lama Bura, Witing Lama Hingan, Hapu Lama Boleng, Hoe Lama Dike, Lera Lama Dike (Lejap), Kowa Lama Botung, Nila Mani Tolo, Tolo Lama Ile, Watun Lama Gute, Laya Lama Bua (Lajar, layar, Lazar, Loyor) Naki Uma Lama Dayo, Koba Lama Waleng, Tuka Lama Roni, Wolo Lama Doro, Mulang Lama Gali, Ura Lama Dayo, Bakan Lama Wala, Liwo Lama Rebong, Resa Lama Doro, Wuwur Lama Tangen, Boleng Lama Hodung, Wutun Lama Doan, Lama Blawa, Lama Helan, Lamaheku, Lama Ole, Lama Nepa, Lama Tonu Mata, .
Bukti sejarah
Sebagai seorang pelaku sejarah Leo Boli Ladjar (Alm, pensiun dan menatap di kalikasa ) dipercayakan oleh Raja Labala Ibrahim Baha Mayeli, bersama Opas Fransiskus Boli Kolin dari Lamaheku, Kecamatan Atadei, mengikuti rapat di Hadakewa yang dipinpin oleh Yan Kia Polly. Pertemuan dilakukan di sebuah gedung sederhana di Hadakewa untuk menyusun staregi perjuangan rakyat Lomblen yang berawal dari statement 7 Maret 1954. Rapat dimulai sekitar pukul 14.00 atau jam 2 soreh. Pemimpin rapat Yan Kia Polly, sekretaris Polus Magun dari Lelalein. Belau ini keluaran dari Makasar dan karena tulisannya juga bagus. Beliau meliput rapat dengan menggunakan tulisan stenograf.
Dikisahkan Leo, yang memimpin rapat adalah Yan Kia Polly dengan berpakaian baju hijau lengan pendek, dan ber ban dipinggangnya sementara Opas Boli Kolin dan Leo Boli Ladjar (penutur sejarah ini) duduk di sebelah selatan sedangkan, pemimpin rapat di bagian timur. Pemegang amanat rakyat Lomblen adalah Yan Kia Polly bukan orang lain. Selain itu hadir Kepala Hamente Kedang Dia Sarabiti datang dengan mengendarai seekor kuda jantan merah berkaki putih. Peserta rapat yang sempat saya (Lo Boli) kenal pada waktu itu antara lain Yan Kia Polly, serta kepala kampung dan tua-tua yang hadir pada waktu itu yang mendapat kepercayaan dari wilayah Paji dan Demong.
Wilayah Paji meliputi Labala, Kawela, Lewotolok dan Kedang, sementara wilayah Demong meliputi Lewoleba dan Hadakewa. Wilayah Paji itu antara lain Hamente Labala ibukotanya Labala dengan rajanya Ibrahim Baha Mayeli. Hamente Kawela ibukotanya Belang dengan rajanya Kapitan Arap. Hamente Lewotolok dikepalai oleh Kapitan Solang dengan ibukotanya Lewotolok. Hamente Kedang ibukotanya Kalikur dengan kepala Hamentenya kapitan Dia Sarabiti. Sedangkan wilayah Demong meliputi Lamalera ibukotanya Lamalera dengan Kepala hamentenya Kakang Bao dan Hamente Lewoleba dengan Kepala Hamentenya Atahala Hadung.
Disarikan dari tulisan tangan Leo Boli Lajar, Alm
Share this post :
Tantowi Panghianat???.
Kab. Lembata
Tantowi Panghianat???.
Kab.Alor
Tantowi Panghianat???.
Kab.Flores Timur
 
Di Dukung Oleh : Lembata google Crew | Leuwalang Template | Kaidir Maha
Copyright © 2013. FlorataNews - All Rights Reserved