Cukup Sudah, Dua Kali Otsus Dikembalikan Rakyat Dengan Berjalan Kaki!
Pasti masih segar di
ingatan kita, bagaimana gelombang protes rakyat Papua pada tanggal 12
Agustus 2005 lalu. Aksi yang dimotori Dewan Adat Papua (DAP) dan
organisasi pergerakan mahasiswa itu, diperkirakan melibatkan lebih dari
13.000 massa. Sebagian besar massa berjalan kaki sambil menyanyi dan
meneriakan yel-yel (longmarch) dari Abepura ke Jayapura, sebagian lagi
yang berdomisili di sekitar Jayapura berkumpul di bekas terminal
Jayapura.
Lalu, dengan semangat yang luar biasa,
sambil mengusung sebuah peti mati (sebagai symbol), massa bergerak
mengepung gedung DPRP, menyerahkan peti mati tersebut kepada para
pimpinan DPRP saat itu dan menyatakan mengembalikan Otsus kepada
Pemerintah NKRI. Sayangnya, meski sampai sore hari bertahan di halaman
gedung wakil rakyat tersebut, mengorbankan rasa lapar dan haus, Otsus
masih tetap dijalankan, dan apa yang diimpikan rakyat pun belum
diperoleh.
Forum Mubes tersebut juga merumuskan 11
point desakan dan agenda perjuangkan, yakni: UU Otsus dikembalikan
kepada Pemerintah NKRI; Segera dilakukan dialog antara Bangsa Papua
dengan Pemerintah NKRI yang dimediasi pihak internasional yang netral;
Segera lakukan referendum bagi penentuan nasib rakyat Papua; Pemerintah
NKRI mengakui dan kembalikan kedaulatan rakyat-bangsa Papua sesuai
proklamasi 1 Desember 1961;
Mendesak dunia internasional untuk
berlakukan embargo dalam pelaksanaan Otsus; Otsus tidak perlu direvisi
seperti yang dimaksudkan Undang undang No. 35 Tahun 2008 tentang
Perubahan Undang undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua;
Seluruh proses Pemilukada kabupaten/kota se-Papua dihentikan. Para
gubernur, DPRP dan DPRD Papua Barat, para bupati, wali kota, dan DPRD
kabupaten/kota se-Tanah Papua, segera hentikan penyaluran dana bagi
penyelenggaraan Pilkada; Pemerintah NKRI di pusat dan daerah, segera
hentikan program transmigrasi dan perketat pengawasan terhadap arus
migrasi ke Tanah Papua; Segera membebaskan seluruh Tapol/Napol Papua
tanpa syarat; Segera lakukan demiliterisasi di Tanah Papua; Dan segera
tutup Freeport.
Meski saat ini, di Papua cukup banyak uang yang beredar, triliunan rupiah mengalir setiap tahun ke Papua, orang Papua dimungkinkan untuk menjabat gubernur dan bupati, banyak wilayah telah dimekarkan, banyak sekali swalayan dan mall yang dibangun bagai jamur tumbuh di musim hujan, secara fisik Papua terlihat berkembang sangat pesat… Namun, sekali lagi, semua ini tidak menolong orang Papua untuk keluar dari kegelisahan, luka hati, ketakutan, dan rasa ketidakadilan.
Sebab kedaulatan tidak di tangan mereka,
nasib mereka ada di tangan orang lain, ekses untuk mengatur hidupnya
sangat pun minim. Demokrasi, hukum, HAM masih sebuah slogan kosong.
‘Obat’ Otsus yang diagung-agungkan sebagai yang paling mujarap, terbukti
tidak benar. Otsus tidak mampu menyembuhkan pahit-getir di hati
rakyat-bangsa Papua, dan Otsus pun tidak memberikan syarat-syarat yang
mutlak bagi keberdaulatan rakyat-bangsa Papua, karena itu Otsus tidak
mampu menghantarkan rakyat-bangsa Papua untuk hidup dalam suasana damai
yang berkeadilan.
Lihat saja apa yang dialami (kondisi obyektif) dan apa yang dituntut rakyat-bangsa Papua: sampai hari ini persoalan sejarah politik rakyat-bangsa Papua tidak pernah terselesaikan secara adil dan demokratis, Pepera 1969 itu referendum pura-pura; teritori dan jumlah personil TNI-Polri terus bertambah tanpa bisa dikontrol; penjara masih terus dihuni kativis Papua sebagai Tapol/Napol; tidak ada satupun kasus pelanggaran HAM yang diselesaikan secara adil; grafik pelanggaran HAM semakin memuncak; Puncak Jaya semakin dikepung aparat; korupsi merajalela; rakyat Papua semakin termarginalkan (dipinggilkan); biaya pendidikan tetap mahal; lapangan pekerjaan makin susah/makin sempit; air bersih makin susah; lingkungan terus dirusak; tanah dan hutan rakyat terus dijarah; giliran pemadaman listrik terus terjadi; mama-mama pedagang asli Papua masih terus berjualan di atas tanah dan beratap langit. Dan rakyat pun terus mengaminkan kondisi ini dengan mengatakan: Memang, Otsus itu bukan kitorong pu barang! Jadi begitu sudah. Tapi kam ingat, tong juga tra pernah minta barang itu mo…
Siapapun, dengan alasan apupun, tidak bisa memungkiri fakta bahwa rakyat Papua ingin agar nasibnya ditentukan oleh dirinya sendiri. Itulah kesimpulan jujur atas sikap yang ditunjukan dalam setiap bentuk perlawanan rakyat Papua dari hari ke hari dan tahun ke tahun, selama lebih dari empat dasawarsa ini, meski tidak sedikit nyawa yang melayang. Dua kali Otsus dikembalikan dengan berjalan kaki, juga merupakan ekspresi yang membuktikan bahwa rakyat Papua mau merdeka, berdaulat, hidup adil dan damai. Meski positif bahwa aksi pengembalian Otsus yang kedua kalinya ini juga sekaligus membuktikan bahwa rakyat masih konsisten dengan perjuangan, pengembalian Otsus kali ini harus diikuti dengan langkah-langkah yang dapat membuat Jakarta dan Dunia Internasional tahu bahwa gerakan pengembalian Otsus itu bukan gertak sambal (pedis sebentar trus hilang), juga bukan sekedar cara untuk menakut-nakuti Jakarta agar Jakarta semakin banyak memberikan uang dan peluang jabatan bagi pera elite (tertentu) pencari kemapanan.
Tentu, kita semua, kaum pergerakan-nasionalis, kaum pelopor (kaum revolusioner), pejuang kemanusiaan, kaum prodemokrasi, …, telah bersepakat bahwa Otsus tidak mampu menyembuhkan rasa pahit-getir di hati rakyat-bangsa Papua. Otsus tidak memberikan syarat-syarat yang mutlak bagi terciptanya kondisi manusiawi rakyat-bangsa Papua, Otsus tidak mampu menghantarkan rakyat-bangsa Papua untuk hidup dalam suasana damai dan yang berkeadilan. Intinya, kita sepakat bahwa kedaulatan harus ada di tangan rakyat! Karena itu, tentu kita juga bersepakat bahwa, dengan dilandasi persatuan, kita akan terus mendorong maju dan memimpin gerak-langkah perlawanan rakyat, tidak berhenti atau puas setelah aksi pengembalian Otsus.
Membangun dan Memimpin Langkah Maju Gerakan Rakyat: Bertolak dari aksi pengembalian Otsus, 18 Juli 2010. Dari mana kita akan mendorong langkah gerakan rakyat yang ada saat ini? Munkin paling mudah untuk memulainya dengan membuat semacam analisa evaluatif terhadap aksi demonstrasi pengembalian Otsus pada tanggal 18 Juni lalu. Jika kita mampu mengenal indikator-indikator yang bersifat negatif (kelemahan) dan indikator positif, akan sangat membatu menjawab pertanyaan di atas.
a. Indikator yang bersifat negatif (kelemahan)
Keputusan Mubes MRP dan Rakyat hanya merupakan sebuah rekomedasi, tidak berkekuatan memaksa (tidak mengikat secara hukum). Ada kecendurungan bahwa para pemimpin yang terlibat dalam aksi pengembalian Otsus (18 Juni 2010) masih memiliki ketidaksolitan. Egoisme kelompok (penyakit faksionisme) masih ada. Setiap faksi (organisasi gerakan) masih mengusung isunya masing-masing atau masing-masing bersikeras dengan strategi-taktik (stratak) masing-masing.
· Langkah lanjut dari gerakan ini belum jelas. Sebab, meski sudah terlihat pointer-poniter tuntutannya, kita masih perlu menentukan isu atau program strategis bersama dan tahapan-tahapan perjuangannya perlu diurai dengan rinci. Benang merah (korelasi) dari tiap isu pun belum bisa tergambarkan. Apa yang selanjutnya dilakukan setelah Otsus dikembalikan? Apa target minimal yang akan dicapai dan bagaimana strategi taktiknya?
Massa yang terlibat terlihat sangat cair, tidak terorganisir. Dengan cairnya massa, juga tidakadanya uraian langkah-langkah perjuangan dan tahapan minimal yang ingin dicapai maka, aksi akan bersifat monumental, gerakan akan cepat tenggelam dan muncul secara sporadic pada moment-momen tertentu.
Massa masih menyandarkan nasib perjuangan pada figur-figur tertentu (patronisme), bukan pada kepemimpinan organisasi (aspek deologis, politis, organisasi). Ada diantara massa maupun para pemimpin gerakan yang terlihat belum bisa membedakan mana kawan dan mana lawan dalam perjuangan ini. Misalnya, ada pemahaman bahwa perjuangan ini terjadi antara Kristen Vs Muslim, ras Melayu Vs Melanesia... Atau dengan kata lain, perspektif kelas atau karakter demokratik belum sepenuhnya terlihat termanivestasi pada kesadaran massa.
· Jika dilihat dari luasan teritori, aksi hanya terjadi di Jayapura, berlum terjadi secara serempak di seluruh Tanah Papua.
b. Indikator yang bersifat positif (menguntungkan)
· Mayoritas rakyat, dalam hal ini massa yang terlibat, berada dalam satu tuntutan yaitu merdeka atau memperoleh kedaulatan. Dan ini bukti konsistensi rakyat.
· Demonstrasi pengembalian Otsus pada tahun ini pun hampir melibatkan semua faksi gerakan.
· Ada juga keterlibatan dan dukungan dari lembaga formal seperti MRP.
· DPRP sendiri dapat merespon tuntutan massa dengan janji akan melakukan sidang pleno untuk menindaklanjuti tuntutan massa (meski kita belum bisa pastikan).
· Jumlah massa yang terlibat pun cukup banyak (hampir mencapai 3000-an) dan akan lebih banyak jika polisi tidak menghadang massa yang mencoba masuk ke Jayapura dari arah Keerom.
Jika point-point evaluatif di atas dapat diterima maka, dalam hemat kami, konsolidasi-penyatuan harus segera dilakukan – setelah aksi ke DPRP, tanggal 8 Juli – demi mendorong maju dan memimpin perjuangan ini. Agenda pokok konsolidasi tersebut menghasilkan semacam Blue Print perjuangan bersama, yakni mencakup: evaluasi keseluruhan terhadap gerakan perjuangan bangsa Papua (evaluasi nasional); analisa situasi obyektif (yakni situasi di luar gerakan kita) dan situasi subyektif (kondisi gerakan kita); merumuskan program trategis; dan membentuk (menetapkan) sebuah komite kerja. Blue print dimaksud, perlu bisa dilahirkan melalui sebuah konferensi (entah namanya workshop atau lokakarya) dengan melibatkan semua stakeholder (setiap wakil faksi).
Evaluasi nasional. Evaluasi Nasional terhadap gerakan perjuangan Bangsa Papua, bertujuan untuk mengukur kemajuan-kemajuan dan atau kegagalan dan factor-faktor yang mempengaruhinya. Evaluasi sangat penting, sebab akan membantu kita untuk tidak berputar-putar (terjebak) pada lingkaran kekeliruan (batu sandungan) yang sama, demi pencapaian tujuan yang kita inginkan. Tetapi, perlu digarisbawahi bahwa evaluasi yang dimaksudkan adalah bukan sebuah mekanisme untuk mengadili orang atau organisasi (faksi) tertentu, juga bukan untuk mencari-cari kesalahan. Selain itu, harus obyektif (didasari fakta atau data), perlu menentukan fariabel apa saja yang akan dievaluasi, dilakukan dalam forum yang semestinya, harus dilandasi dengan sikap rendah hati dan berjiwa besar. Beberapa fariabel penting yang harus dievaluasi, antara lain: Kepemimpinan; Persatuan - melalui sebuah payung bersama, front persatuan, atau aliansi strategis; program perjuangan (isu) dan strategi-taktik, pendidikan politik kepada rakyat; keterlibatan massa rakyat; dukungan dan solidaritas internasional; posisi tawar rakyat-bangsa Papua terhadap Pemerintah NKRI; kemandirian.
Pembacaan situasi politik. Cakupan analisa (pembacaan) situasi politik adalah menyangkut tiga wilayah politik yakni Papua, Indonesia dan Internasional. Variable-variabel yang menjadi dalam pembacaan tersebut antara lain: bagaimana kondisi gerakan Papua pada saat ini; arah politik pemerintah (sipil-militer) saat ini; konstelasi elit dan partai politik saat ini; arus modal/investasi; ditingkat internasional kita perlu mengetahui subyek politik-ekonomi dan bagaimana hubungannya dengan arah politik Pemerintah Indonesia di Jakarta dan Papua, juga perlu mengetahui dukungan atau solidaritas internasional bagi gerakan kita.
Perumusan program strategis. Berdasarkan hasil rumusan evaluasi dan pembacaan (pemetaan) politik yang diperoleh, program strategis dapat ditentukan. Selanjutnya merumuskan program turunan atau strategi-taktik atau langkah-langkah untuk mencapai tujuan program strategis tersebut, dan bentuk-bentuk aksinya. Setelah itu, diikuti dengan scheduling (pembuatan jadwal kerjanya).
Pembentukan komite kerja. Komite Kerja, dibentuk dalam workshop ini, dan merupakan sebuah badan adhoc yang bertugas: Memimpin proses perjuangan rakyat Papua, pasca tanggal 8 Juli 2010 (apapun hasil dari DPRP), hingga terbentuk sebuah Aliansi Strategis. dengan strukturnya; Memdorong dan memfasilitasi sebuah pertemuan semua perwakilan faksi perjuangan untuk membentuk sebuah aliansi strategis. Struktur komite disesuaikan dengan kebutuhan kerja sesuai rumusan program strategisnya. Setelah aliansi strategis dibentuk maka, selanjutnya komite kerja menyerahkan tugas kepemimpinan dalam perjuangan kepada aliansi strategis. *** (Kahar/KPP Garda-P)